Bisnis.com, JAKARTA - Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa pembatasan sosial berskala besar untuk memerangi virus corona perlu didampingi kebijakan darurat sipil. Hal tersebut perlu dilakukan agar kebijakan tersebut dapat berjalan secara tegas di masyarakat.
Oleh sebab itu, Presiden meminta jajarannya menyiapkan aturan pelakasanaan lebih jelas soal kebijakan pembatasan sosial berskala besar sebagai panduan kepada pemerintah daerah. Di dalamnya, termasuk pula karantina wilayah.
“Dan saya ingatkan kebijakan kekarantinaan kesehatan termasuk karantina wilayah adalah kewenangan pemerintah pusat. Bukan kewenangan pemerintah daerah,” katanya membuka rapat terbatas dengan Gugus Tugas Covid-19 melalui video conference, Senin (30/3/2020).
Pernyataan Presiden yang akan menerapkan darurat sipil juga dikuatkan oleh Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman. Melalui akun Twitter-nya @fadjroel, dia menyampaikan bahwa tahapan baru dalam meredam pandemi Covid-19 adalah pembatasan sosial berskala besar dengan kekarantinaan kesehatan.
Fadjroel memberi catatan bahwa jika keadaan sangat memburuk, Presiden akan menetapkan darurat sipil.
Presiden @jokowi menetapkan tahapan baru perang melawan Covid-19 yaitu: PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA BESAR dengan KEKARANTINAAN KESEHATAN. Hanya jika keadaan sangat memburuk dapat menuju Darurat Sipil ~ #Jubir #BungJubir @JubirPresidenRI #GotongRoyongKemanusiaan pic.twitter.com/wAh61w4wCC
— Fadjroel Rachman (@fadjroeL) March 30, 2020
Rencana Presiden untuk menerapkan darurat sipil ini langsung mendapatkan respons dari warganet atau netizen. Hingga Senin malam, sudah ada 57,3 ribu tagar #tolakdaruratsipil di dunia maya.
Baca Juga
Salah satu akun Twitter @jansen_jsp menilai rencana darurat sipil adalah pendekatan politik yang akan dilakukan oleh pemerintahan Jokowi. Padahal masalah yang dihadapi saat ini adalah adalah wabah corona.
"Sejak awal kami sudah menunda politik pak @jokowi. Tapi, anda malah menghadapi wabah corona ini dgn pendekatan politik. Darurat sipil ini kebijakan "cuci tangan" dan power oriented. Anda ingin mengendalikan publik tapi tidak mau menanggung hidup mereka."
Sejak awal kami sudah menunda politik pak @jokowi. Tapi anda malah menghadapi wabah corona ini dgn pendekatan politik. Darurat sipil ini kebijakan "cuci tangan" dan power oriented. Anda ingin mengendalikan publik tapi tidak mau menanggung hidup mereka.#tolakDaruratSipil
— JANSEN SITINDAON (@jansen_jsp) March 30, 2020
Hal senada disampaikan oleh akun Twitter @msaid_didu. Menurutnya, rakyat saat ini dikejar corona, sementara pemerintah mau menerapkan darurat sipil untuk mengejar rakyat. Padahal, di negara lain rakyat justru diberikan uang, makanan, jaminan hidup, dan lainnya.
Rakyat dikejar corona, pemerintah mau terapkan darurat sipil untuk mengejar rakyat.
— Muhammad Said Didu (@msaid_didu) March 30, 2020
Sementara di negara lain krn ada corona justru diberikan uang, makanan, jaminan hidup dll.
Malang betul nasib rakyat di sini.#tolakdaruratsipil
Sejumlah kalangan juga menyatakan menolak rencana darurat sipil untuk melakukan pembatasan sosial dalam skala besar. Mereka meminta pemerintah berhati-hati dalam menggunakan dasar hukum yang digunakan dalam kebijakan darurat sipil.
Beberapa kalangan tersebut, di antaranya adalah ELSAM, Imparsial, LBH Jakarta, LBH Masyarakat, LBH Pers, ICW, PBHI, PILNET Indonesia, dan KontraS--yang menamakan diri Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan.
Tujuannya, agar tidak ada bias tafsir dalam penggunaan dasar hukum. Pun, penggunaan kewenangan akan lebih tepat sasaran. Merujuk kepada regulasi yang tersedia, Koalisi mendesak pemerintah tetap mengacu pada UU No 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana dan UU No 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Hal ini didasarkan pada isu Covid-19 yang merupakan kondisi akibat bencana penyakit. Selain itu, penerapan pembatasan sosial meluas yang merujuk pada karantina kesehatan perlu dilakukan guna menghindari sekuritisasi problem kesehatan yang tidak perlu.
"Harus diakui, sejak awal pemerintah alpa mematuhi keseluruhan prosedur yang telah diatur dalam UU Penanggulangan Bencana. Sebelum penetapan masa tanggap darurat nasional, semestinya Presiden Joko Widodo melakukan penetapan status darurat bencana nasional (Pasal 51 ayat 2)," demikian seperti dikutip dari siaran pers yang Bisnis terima, Senin (30/3).