Bisnis.com, JAKARTA - Indonesian Young Scientist Forum mengatakan penggunaan avigan dan chloroquine untuk pengobatan bagi pasien virus corona Covid-19 harus berhati-hati.
Berry Juliandi, dari Institut Pertanian Bogor, mengatakan penggunaan obat Avigan memang sebaiknya dikombinasikan dengan chloroquine.
Chloroquine berperan penting mencegah masuknya virus ke dalam sel karena mengubah derajat keasaman atau pH, sehingga mencegah proses replikasi virus. Sementara, avigan dapat bekerja menghambat RNA-dependent RNA polimerase (RdRp) dari virus.
Dia menjelaskan, walaupun chloroquine sudah digunakan bertahun-tahun untuk antimalaria dan untuk penanganan lupus (penyakit autoimun) dan safety profilenya tidak diragukan, namun kehati-hatian tetap harus dilakukan untuk efek sampingnya pada darah dan pendengaran.
“Walaupun sangat jarang namun fatal seperti munculnya Steven Johson Syndrome yang dapat menyebabkan kematian,” tulis Berry dalam laporannya dikutip Bisnis, Senin (23/3/2020).
Mengingat urgensi pengobatan Covid-19, otoritas China telah melaporkan data awal bahwa chloroquine menunjukkan hasil menjanjikan.
Demikian pula, tim medis dari Marseille Prancis (Gautret et al 2020), juga menerbitkan laporan efektifitas obat Hydroxychloroquine untuk menurunkan jumlah virus Covid-19 pada rongga pernapasan pada 20 pasien Covid-19.
Hal ini sejalan dengan studi di laboratorium chloroquine memang bisa menaikkan pH endosome, sehingga menyulitkan proses internalisasi dan/atau replikasi virus di dalam sel inang.
Namun demikian, meski kedua obat tersebut yang memang sudah diketahui profil dosis, dan kontraindikasinya seperti risiko terhadap Steven Johson Syndrome, otoritas FDA (Badan Pengawas Obat dan Makanan AS) belum menyatakan Chloroquine dan Hydroxychloroquine sebagai obat Covid-19.
“Maka pemberian kedua obat harus diberikan dalam konteks studi klinis, dan setiap pasien yang nantinya akan diberikan obat tersebut wajib dicatat perkembangannya, perbaikan atau perburukan gejala klinis, pemantauan jumlah virus Covid-19 secara harian, dan dimonitor jangka waktu perawatannya.
Dengan demikian dampak pemberian kedua obat dibandingkan terapi standar bisa dijadikan pembelajaran dan pengalaman praktis yang bisa dipublikasikan secara meluas.
Dia menilai, dalam kajian Health Technology Assessment terkait dengan kit diagnostik yang begitu banyak ditawarkan ke Indonesia baik dalam bentuk RT-PCR (penentuan berdasarkan adanya virus) ataupun yang Rapid Test (berbasis antibodi), pemerintah dapat memutuskan test uji yang spesifik dan sensitif selain harganya terjangkau.
Pemerintah juga dipandang perlu meningkatkan kapasitas dan kemampuan pengujian Covid-19 berbasis robotik untuk mengurangi beban tenaga kesehatan atau analis untuk melakukan ekstraksi RNA virus sehingga hasil diagnostik berbasis RT- PCR bisa menjadi lebih cepat tersaji.
Contoh ekstraktor RNA adalah Nextractor NX 48S yang juga digunakan di negara-negara lain untuk mempercepat pengujian.