Bisnis.com,JAKARTA - Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Oce Madril mengatakan penghentian 36 perkara di tahap penyelidikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat memusnahkan alat bukti yang berkaitan dengan suatu kasus.
Padahal, menurutnya, tidak ada mekanisme yang bisa menguji penghentian penyelidikan 36 perkaraoleh KPK. Hal ini berbeda dengan mekanisme masyarakat bisa menguji sebuah kebijkaan lewat praperadilan.
“Sehingga langkah itu merupakan tindakan murni dari pimpinan KPK," tuturnya saat memberi keterangan pers ihwal sikap pegiat antikorupsi terhadap problematika revisi UU KPK di Kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), pada Senin (9/3/2020).
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghentikan 36 perkara di tahap penyelidikan. Hal tersebut sesuai dengan prinsip kepastian hukum, keterbukaan dan akuntabilitas pada publik sebagaimana diatur di Pasal 5 UU KPK.
Plt. Juru Bicara KPK, Ali Fikri mengatakan, yang perlu dipahami bahwa penyelidikan merupakan serangkaian kegiatan penyelidik untuk menemukan suatu peristiwa pidana. Hal tersebut untuk menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyelidikan.
Dalam proses penyelidikan, terdapat kemungkinan sebuah perkara ditingkatkan ke penyidikan atau tidak dapat dilanjutkan ke penyidikan," kata Ali, Kamis(2/20/2020).
Baca Juga
KPK menyatakan bahwa sejak tahun 2016 telah ada 162 kasus yang dihentikan. Artinya, rata-rata kasus yang dihentikan setiap bulan berkisar 2 kasus, tapi sejak pimpinan baru dilantik (20 Desember 2019), sudah ada 36 kasus yang dihentikan atau sekitar 18 kasus per-bulannya.
“Pemusnahan alat bukti merupakan salah satu pasal yang muncul dari UU KPK hasil revisi,” kata Oce.
Setelah ini, menurutnya, bakal ada perkara-perkara yang akan dihentikan dan alat bukti dimusnahkan.
“Itu kemudian menjadi alasan objek mengapa kita meminta MK perlu mengeluarkan putusan sela,” jelasnya.
Pemohon uji formal UU KPK, Agus Rahardjo telah meminta sejak awal permohonan agar MK mengabulkan permohonan provisi untuk menunda keberlakuan UU KPK hasil revisi tersebut. Mengingat pasal 58 UU MK mengatur bahwa putusan MK tidak berlaku surut.
Dalam sejarahnya, permohonan penundaan keberlakuan UU pernah dikabulkan dalam perkara pengujian UU Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), perkara Nomor 133/PUU-VII/2009 atau yang lebih dikenal luas dengan istilah Cicak versus Buaya. Saat itu MK dipimpin oleh Mahfud Md yang saat ini menjabat sebagai Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan.