Bisnis.com, JAKARTA – Produksi daging babi China pada 2019 turun ke level terendah dalam 16 tahun terakhir usai jutaan ekor ternak utama negara tersebut terinfeksi virus Demam Babi Afrika (Africa Swine Fever/ASF).
Berdasarkan data resmi Badan Statistik Nasional (NBS), produksi daging tahun lalu berada di angka 42,55 juta ron atau turun 21,3% dibandingkan produksi pada 2018 dan terendah sejak 2003.
Harga pangan di negara tersebut melejit seiring melambungnya harga daging babi akibat pasokan yang berkurang. Inflasi di China bahkan hampir menyentuh level tertinggi dalam delapan tahun terakhir.
Kementerian Pertanian dan Daerah Pedesaan mencatat jumlah populasi babi turun sekitar 41% pada Oktober 2019 dibandingkan tahun sebelumnya, namun naik 2% secara bulanan.
Sementara itu, NBS mencatat populasi babi turun sekitar 27,5% di angka 310,41 juta ekor sampai akhit tahun. Jumlah ini meningkat dibandingkan laporan pada September yang memperlihatkan populasi sebesar 306,75 juta ekor. Selain itu, jumlah babi yang dipotong pun memperlihatkan penurunan 21,6% menjadi 544,19 juta ekor.
Rabobank memproyeksi pada November lalu bahwa produksi babi China kemungkinan akan turun sekitar 25% pada 2019 menjadi sekitar 40,5 juta ton dan turun 10% sampai 15% pada 2020.
Baca Juga
Pemerintah setempat telah mengeluarkan kebijakan stabilisasi harga dengan melepas ribuan ton cadangan daging babi beku. Selain itu, impor daging babi pun memperlihatkan kenaikan dua kali lipat pada Desember lalu.
Adapun produksi protein hewani China yang mencakup produksi daging babi, sapi, domba, dan ayam tercatat turun 10,2% menjadi 76,49 juts ton. Produksi sapi naik 3,6% menjadi 6,67 juta ton sementara daging ayam meningkat 12,3% menjadi 22,39 juta ton.