Bisnis.com, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerima ajuan perlindungan dari seorang saksi di kasus dugaan suap penerbitan izin proyek hunian Meikarta di Kabupaten Bekasi.
Pengajuan tersebut lantaran satu saksi merasa terancam karena dilaporkan ke kepolisian oleh mantan Presiden Direktur PT Lippo Cikarang Tbk., Bartholomeus Toto selaku tersangka dalam kasus ini.
"KPK sedang mempelajari permohonan perlindungan saksi tersebut," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah dalam pesan tertulisnya pada Kamis (12/12/2019) malam.
Belum jelas siapa saksi yang dimaksud Febri. Hanya saja, kuat dugaan orang tersebut mengarah pada Edi Dwi Soesianto selaku Kepala Departement Land Acquisition Permit PT Lippo Cikarang Tbk saat itu.
Edi Dwi sebelumnya telah dilaporkan ke Polrestabes Bandung oleh Bartholomeus Toto karena merasa difitnah telah memgalirkan uang senilai Rp10 miliar kepada mantan Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin dan kawan-kawan. Bahkan, menurut pengakuan Toto pihak kepolisian telah menetapkan Edi Dwi sebagai tersangka. Namun, Febri mengatakan bahwa sebetulnya saksi tidak dapat dituntut secara pidana ataupun perdata berdasarkan undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban.
Selain itu, UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga mengatur bahwa penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara korupsi harus didahulukan dari perkara lain.
Baca Juga
"Kami yakin, Polri memahami hal tersebut karena upaya untuk melaporkan saksi-saksi kita tahu sudah beberapa kali terjadi," ujarnya.
Dia mengaku jika dengan koordinasi yang baik, maka prioritas utama dalam sebuah kasus adalah penuntasan kasus korupsinya. Febri mengingatkan agar jangan sampai saksi merasa takut dan terancam memberikan keterangan yang sebenar-benarnya.
"Apalagi dalam membongkar sebuah kejahatan yang melibatkan aktor-aktor yang memiliki kekuasaan," tutur Febri.
Aliran Uang
Dalam perkara ini, tersangka Toto diduga mengalirkan uang senilai Rp10,5 miliar kepada mantan Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin untuk proses penerbitan surat izin peruntukan dan pengolahan tanah (IPPT) Meikarta.
Uang tersebut diberikan pada Neneng Hasanah Yasin melalui orang kepercayaannya dalam lima kali pemberian baik dalam bentuk dolar Amerika Serikat dan rupiah.
Toto disangka melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP dan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Atas penetapan tersangka ini, dia mengajukan praperadilan ke pengadilan negeri Jakarta Selatan yang terdaftar pada Rabu (27/11/2019) dengan nomor perkara 151/Pid.Pra/2019/PN JKT.SEL.
Sementara itu, Toto setelah diperiksa KPK mengaku ikut terseret dalam pusaran kasus Meikarta karena difitnah oleh Edi Dwi Soesianto selaku Kepala Departement Land Acquisition Permit PT Lippo Cikarang Tbk saat itu.
Edi Dwi, kata Toto, memberikan keterangan berbeda dengan apa yang diceritakan penyidik KPK. Toto mengaku memegang alat bukti rekaman terkait hal tersebut.
"Intinya satu, Edi Soes [Soesianto] dipaksa oleh penyidik untuk memberikan keterangan bahwa saya yang memberikan uang Rp10 miliar," katanya usai diperiksa KPK, kemarin.
Atas dugaan fitnah itu, Toto menyatakan bahwa dalam perkembangannya Edi Dwi telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polrestabes Bandung menyusul laporan yang dibuatkan sebelumnya.
"Edi Soes [Soesianto] sudah jadi tersangka di Polrestabes Bandung. Jadi kasuss saya ini bukan OTT, tidak ada uang sama sekali yang diambil dari saya," tuturnya.
Sementara itu, kemarin penyidik gagal memeriksa petinggi Lippo Group James Riyadi sebagai saksi untuk tersangka Bartholomeus Toto.
James tidak memenuhi panggilan KPK dengan alasan yang belum jelas. Atas mangkirnya James Riyadi, penyidik tengah menyiapkan langkah selanjutnya agar James mematuhi perintah undang-undang.