Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) mempertanyakan sikap Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang hingga kini belum menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (Perppu KPK). Padahal, menurut ICW, penerbitan perppu itu penting untuk menganulir perubahan UU KPK yang dinilai melemahkan.
"Seakan Presiden tidak mendengarkan suara penolakan revisi UU KPK yang sangat masif didengungkan oleh berbagai elemen masyarakat di seluruh Indonesia," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulis, Selasa (8/10/2019).
ICW mengingatkan Jokowi bahwa sedikitnya ada 10 konsekuensi dari perubahan UU KPK terhadap kerja pemberantasan korupsi hingga citra pemerintahan di mata dunia. Semua konsekuensi itu buruk. Berikut daftarnya menurut ICW:
Pertama, Kurnia mengatakan penindakan kasus korupsi akan lambat dengan keberadaan dewan pengawas. Sebab, tindakan penyitaan, penggeledahan, dan penyadapan mesti melalui izin dewan ini.
Kedua, ICW melihat KPK tak akan lagi independen. Pasal 3 UU KPK menyebutkan KPK menjadi lembaga negara yang masuk dalam rumpun eksekutif. Ini mengartikan bahwa status kelembagaan KPK tidak lagi bersifat independen.
Padahal, kata Kurnia, sedari awal pembentukan KPK diharapkan menjadi bagian dari rumpun kekuasaan ke empat, yakni lembaga negara independen dan terbebas dari pengaruh kekuasaan manapun, baik secara kelembagaan atau penegakan hukum,
Ketiga, Kurnia melihat revisi UU KPK menambah daftar panjang pelemahan lembaga antikorupsi ini.
Sepanjang lima tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla berbagai pelemahan terhadap KPK telah terjadi. Mulai dari penyerangan terhadap Novel Baswedan, pemilihan Pimpinan KPK yang sarat akan persoalan, ditambah lagi dengan pembahasan serta pengesahan UU KPK.
ICW menganggap presiden seakan membiarkan upaya tersebut terus terjadi. Hal ini akan berimplikasi pada pandangan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan ini. "Bukan tidak mungkin anggapan tidak pro terhadap pemberantasan korupsi akan disematkan pada pasangan Jokowi-JK," kata Kurnia.
Kemudian, ICW menganggap Presiden melanggar janji pada Nawa Cita. ICW menganggap Jokowi ingkar janji terhadap program kampanyenya yang dia dengungkan pada 2014 bernama Bawa Cita.
Pada poin keempat program tersebut, Jokowi - JK menyatakan menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.
Kelima, Kurnia mengatakan indeks persepsi korupsi akan turun. Indeks persepsi korupsi Indonesia berada pada peringkat 89 dari total 180 negara dengan skor 38. ICW khawatir, pelemahan KPK melalui UU yang baru akan membuat skor tersebut tambah jeblok, karena tiadanya kepastian hukum dalam pemberantasan korupsi.
Keenam, ICW melihat revisi ini akan menghambat iklim investasi. ICW memprediksi iklim investasi ke Indonesia akan terpengaruh oleh pelemahan KPK. Sebab, landasan untuk menciptakan iklim investasi yang sehat adalah kepastian hukum.
"Bagaimana mungkin Indonesia bisa memastikan para investor akan tertarik menanamkan modalnya disaat maraknya praktik korupsi," ujar Kurnia.
Ketujuh, Kurnia mengatakan salah satu amanat reformasi pada tahun 1998 lalu adalah pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Menurut dia, pelemahan KPK merupakan bentuk pengkhianatan terhadap amanat tersebut.
Kedelapan, ICW menyatakan pelemahan pemberantasan korupsi dapat membuat publik hilang kepercayaan pada Jokowi. ICW mengingatkan pemilih Jokowi dalam Pilpres 2014 dan 2019 berharap bahwa presiden akan mewujudkan janji-janji kampanyenya, salah satunya dalam aspek pemberantasan korupsi.
Namun, menurut ICW, kondisi saat ini justru terbalik, narasi penguatan yang selama ini didengungkan oleh Presiden seakan luput dari kebijakan pemerintah.
Kesembilan, ICW menyatakan keberhasilan KPK dalam pemberantasan korupsi sudah diakui dunia internasional. Pada 2013, KPK mendapatkan penghargaan Ramon Magsaysay Award dari pemerintah Filipina karena keberhasilan itu.
Revisi UU KPK, juga direspon negatif oleh United Convention Against Corruption (UNCAC). Sorotan dari dunia, kata ICW, bakal berdampak buruk bagi citra pemerintah Indonesia.
Kesepuluh, Kuria menyebut kejahatan korupsi menyasar berbagai sektor strategis, mulai dari pangan, infrastruktur, energi dan sumber daya alam, pendidikan, pajak, kesehatan, dan berbagai sektor lainnya.
Menurut ICW kondisi itu harusnya ditanggapi pemerintah dengan menguatkan KPK. Namun, KPK secara institusi dan kewenangan terlihat sedang dilemahkan oleh DPR dan pemerintah.