Bisnis.com, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi memasukkan nama pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim ke Daftar Pencarian Orang (DPO).
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan bahwa DPO terhadap keduanya telah ditetapkan pada September 2019, bukan Agustus 2019 lalu, seperti yang sebelumnya diberitakan.
"KPK mengirimkan surat pada Kepala Kepolisian Republik Indonesia, u.p [untuk perhatian] Kabareskrim Polri perihal DPO tersebut," ujar Febri, Senin (30/9/2019).
Dengan status tersebut, lanjut dia, maka KPK telah meminta bantuan Polri untuk melakukan pencarian terhadap tersangka kasus dugaan korupsi pemberian Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) tersebut.
"Setelah itu, KPK melakukan koordinasi dengan pihak Polri dan instansi terkait lainnya," kata Febri.
Sjamsul dan Itjih Nursalim sebelumnya tidak kooperatif ketika dipanggil tim penyidik KPK terkait kasus dugaan korupsi SKL BLBI. Keduanya mangkir pada panggilan 28 Juni dan pada 19 Juli lalu.
Namun, jauh sebelum itu Sjamsul dan Itjih tak pernah hadir sebanyak tiga kali pada 2018 silam saat kasus ini masih dalam tahap penyelidikan.
Adapun surat panggilan pemeriksaan telah dikirim ke lima alamat berbeda masing-masing di Indonesia dan Singapura. Di Indonesia, dikirim ke alamat Simprug W.G 9, Grogol Selatan, Jakarta Selatan.
Sementara untuk alamat di Singapura, KPK mengirimkan surat panggilan pemeriksaan ke alamat 20 Cluny Road; Giti Tire Pte. Ltd. (Head Office) 150 Beach Road, Gateway West; 9 Oxley Rise, The Oaxley; dan 18C Chatsworth Rd.
Tak hanya itu, KPK juga sebelumnya telah meminta Kedutaan Besar Republik Indonesia mengumumkannya di papan pengumuman kantor KBRI Singapura.
"KPK juga meminta bantuan Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB), Singapura," kata dia.
Di sisi lain, sejak 10 Juni 2019, KPK telah memeriksa 30 orang saksi pelbagai unsur baik mantan menteri, swasta hingga para mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Dalam perkara ini, KPK menduga Sjamsul dan Itjih melakukan tindak pidana korupsi terkait dengan piutang petani petambak sebesar Rp4,8 triliun, yang kemudian menjadi dasar kerugian keuangan negara senilai Rp4,58 triliun dari hasil hitungan BPK.
Penetapan Sjamsul dan Itjih berdasarkan hasil pengembangan perkara mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung.
Saat dilakukan Financial Due Dilligence(FDD) dan Legal Due Dilligence (LDD) disimpulkan bahwa Sjamsul melakukan misrepresentasi dan aset tersebut tergolong macet.
Pada 24 Mei 2007, PT Perusahaan Pengelola Aset melakukan penjualan hak tagih utang petambak plasma senilai Rp220 miliar. Padahal nilai kewajiban Sjamsul yang seharusnya diterima negara adalah Rp4,8 triliun.
Sjamsul dan Itjih disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.