Bisnis.com, JAKARTA — Indonesia Corruption Watch (ICW) dengan tegas menyatakan tidak setuju atas revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diinisiasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). ICW memandang bahwa langkah dari revisi UU KPK ini kontraproduktif.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan bahwa ada problem serius terkait dengan revisi UU KPK yang muncul bersamaan dengan pemilihan calon pimpinan KPK.
“Kami sudah menyuarakan kritik bahwa ada persoalan serius dengan 10 nama calon pimpinan KPK yang di dalamnya itu ada figur yang pernah menerima gratifikasi, pelanggar kode etik, dan lain-lain,” ujarnya dalam acara Diskusi Polemik KPK adalah Kunci, di Jakarta, Sabtu (7/9/2019).
ICW mengatakan bahwa terdapat banyak catatan dalam draft revisi UU KPK yang diajukan DPR. Tentang isu penyadapan misalnya, Kurnia menilai bahwa tidak ada lagi audit dari Kementerian Komunikasi dan Informatika karena ada putusan Mahkamah Konstitusi tentang penyadapan. Sementara di revisi UU KPK disebutkan bahwa penyadapan oleh KPK harus melalui persetujuan dewan pengawas.
Pembentukan dewan pengawas dinilai akan memperluas kekuasaaan DPR selain dari memilih pimpinan KPK. Belum lagi kehadiran dewan pengawas akan memperpanjang proses birokrasi penanganan perkara. “Kita khawatir akan ada intervensi dari badan legislatif,” ujarnya.
Kurnia mengaku kaget ketika membaca draft revisi UU KPK. Dia mengatakan bahwa yang dibutuhkan KPK saat ini bukanlah revisi UU KPK, tetapi justru revisi Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
“Ini (revisi undang-undang tindak pidana korupsi) yang sebenarnya dibutuhkan untuk mengedepankan pemberantasan korupsi,” ujarnya.
Dia juga menyoroti poin penting lain yang kurang dicermati dengan serius dalam draft revisi UU KPK di antaranya tentang penghapusan kewenangan untuk membentuk kantor perwakilan di wilayah lain di Indonesia dan syarat pemimpin KPK.
“Agenda revisi UU KPK berusaha untuk melemahkan KPK dan tidak tepat untuk diajukan saat ini,” ujarnya.