Kabar24.com, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tengah menghadapi wacana revisi UU No. 30 Tahun 2002. Rencana revisi undang-undang yang digulirkan oleh DPR dianggap berpotensi melemahkan kewenangan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Selain revisi UU, lembaga itu juga akan berganti kepemimpinan. Sebanyak 10 nama calon pimpinan KPK sudah berada di tangan DPR untuk mengikuti uji kelayakan dan kepatutan mulai pekan depan.
Calon pimpinan KPK yang akan diuji DPR juga bukan tanpa masalah. Sejumlah pegiat antikorupsi berpandangan bahwa beberapa calon memiliki rekam jejak yang justru tidak berpihak pada pemberantasan korupsi.
Dua isu itu yang membuat KPK khawatir. Jika Anda membuka situs KPK, terpampang pertama adalah tulisan KPK dengan warna dasar gelap dan terlihat retak.
Simbol itu seolah ingin mengirimkan pesan kepada publik bahwa lembaga itu menuju kehancuran. Retak-retak yang muncul di tulisan KPK menggambarkan bahwa keberadaan komisi antirasuah itu dilemahkan oleh berbagai pihak.
Apalagi, pernyataan resmi Ketua KPK Agus Rahardjo pada Kamis (5/9/2019) terang-terangan menyatakan bahwa KPK menolak revisi Undang Undang KPK.
Apalagi jika mencermati materi muatan RUU KPK yang beredar, justru rentan melumpuhkan fungsi-fungsi KPK sebagai lembaga independen pemberantas korupsi.
“Dengan segala kejadian dan agenda yang terjadi dalam kurun waktu belakangan ini, kami harus menyatakan kondisi saat ini bahwa KPK berada di ujung tanduk,” katanya.
Pertama, tentang seleksi pimpinan KPK yang menghasilkan 10 nama calon pimpinan yang di dalamnya terdapat orang yang bermasalah. Hal seperti akan membuat kerja KPK terbelenggu dan sangat mudah diganggu oleh berbagai pihak.
Selanjutnya, pada Kamis, 5 September 2019, Sidang Paripurna DPR telah menyetujui revisi Undang Undang KPK menjadi RUU Insiatif DPR. Terdapat Sembilan Persoalan di draf RUU KPK yang beresiko melumpuhkan kerja KPK.
Sembilan hal tersebut adalah, independensi KPK yang terancam, penyadapan dipersulit dan dibatasi, adanya pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR, pembatasan sumber penyelidik dan penyidik, penuntutan perkara korupsi harus koordinasi dengan Kejaksaan Agung, perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria, kewenangan pengambilalihan perkara di tahap penuntutan dipangkas, ewenangan-kewenangan strategis pada proses penuntutan dihilangkan, dan kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas.