Kabar24.com, JAKARTA — Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek mendatangi Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Rabu (21/7/2019). Kedatangan Menkes Nila untuk membahas terkait dengan tata kelola di sektor Kesehatan.
Juru bicara KPK Febri Diansyah mengatakan kehadiran Menkes Nila dan dan jajaran Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang Jasa Pemerintah (LKPP) untuk membahas tentang peningkatan kualitas dan perbaikan di sektor kesehatan.
"Pertemuan tersebut adalah tindak lanjut dari Kajian Perbaikan Tata Kelola di Sektor Kesehatan yang dilakukan Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK sejak 2015-2018," kata Febri dalam keterangan tertulis, Rabu (21/8/2019).
Dia mengatakan kajian-kajian yang dibahas hari ini antara lain mencakup beberapa hal yaitu percepatan perbaikan sistem e-katalog terutama untuk alat kesehatan dan urgensi segera selesaikan Pedoman Nasional Pelayanan Kesehatan (PNPK) untuk penyakit berbiaya dan berisiko tinggi.
Kemudian, Permenkes penanganan fraud Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan perbaikan tata kelola rumah sakit, terutama perbaikan manajemen di RSCM.
Pertemuan ini disambut dan dihadiri langsung oleh Ketua KPK Agus Rahardjo, Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan, dan Direktur Penelitian dan Pengembangan KPK Wawan Wardiana.
Dalam pertemuan sebelumnya pada awal tahun lalu, KPK memaparkan empat hal terkait kajian pencegahan korupsi di sektor kesehatan terutama dalam pengadaan produk alat kesehatan (alkes).
Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan mengatakan bahwa korupsi pada alkes merupakan paling banyak di antara lima jenis tindak pidana korupsi di bidang kesehatan sehingga perlu dibuat kajian khusus.
Selain itu, nilai anggaran untuk alkes juga terhitung besar sehingga diperlukan tindak pencegahan agar tidak sampai di korupsi.
Pada 2017, misalnya, anggaran untuk alkes disebutnya mencapai Rp24 triliun dan pada 2018 sebesar Rp36 triliun yang bersumber dari APBN dan APBD.
Terkait hal tersebut, Pahala mengatakan setidaknya ada empat hal yang perlu ditindaklanjuti oleh Kementerian Kesehatan.
Pertama, diperlukan percepatan implementasi e-katalog untuk pengadaan alkes kendati hal tersebut sudah dilakukan oleh Kemenkes sejak 2017. Alasannya, dirasa belum ada perubahan lantaran masih kerap terjadi kasus korupsi di pengadaan alkes.
"Kita rasa tidak ada yang berubah dari kasus-kasus korupsi yang ada, dan kita teliti ternyata e-katalog alkes berjalan sangat lambat," ujarnya.
Dalam e-katalog itu juga KPK menyoroti terkait produk alkes yang nomor izin edarnya masih sangat minim. Menurutnya, hanya sekitar 35% produk alkes yang tayang dalam e-katalog memiliki izin edar sehingga 65% sisanya dinilai masih dilelang secara manual.
Pahala juga menyebut hanya 7% penyedia yang masuk ke e-katalog. Sisanya masih bergerilya ke daerah-daerah untuk ikut proses pengadaan.
Selain itu, pada program Strategi Nasional (Stranas) Pencegahan Korupsi terdapat juga aksi untuk katalog sektoral untuk alat kesehatan dan obat. Pemisahan secara sektoral itu akan jadi yang pertama di Kemenkes.
"Yang obat sudah berjalan baik, obat generik ditambah lagi 51 jenis obat itu akan dikelola oleh Kemenkes sebagai katalog sektoral lantas katalog alkes yang masih sedikit akan dipindahkan ke Kemenkes dikelola sektoral dan dipercepat," katanya.
Kedua, lanjut Pahala masih adanya pemborosan alkes, tidak tepat spesifikasi dan jumlah kebutuhan di beberapa daerah. Untuk hal tersebut, KPK mendorong agar Kemenkes merevisi Permenkes No 56 tahun 2014 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit.
"Kita minta agar didetailkan agar daerah-daerah tahu pasti apa yang dibutuhkan terkait spesifikasi, jumlah kebutuhan, serta kelengkapan apa saja yang dibutuhkan," katanya.
Ketiga, KPK mengidentifikasi masih sedikitnya produk alkes yang terawasi baik sebelum dan sesudah edar. Menurut KPK, hal ini lantaran masih minimnya SDM dalam melakukan pengawasan sehingga lembaga antirasuah itu menyarankan adanya perbaikan dan peningkatan fungsi pengawasan di tingkat kementerian dan balai secara efektif.
"Ini kita lihat sangat sedikit produk yang di surveillance sekitar 6% dari 100% produk dan hanya 15% sarana yang diinspeksi serta 25% sampai 28% produk yang terkalibrasi," katanya.
Terakhir, Pahala menyebut ada beberapa regulasi yang diminta untuk diselesaikan terutama terkait Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK).
"Karena kita pikir penting karena ini jadi rujukan juga untuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan penanganan fraud (kecurangan). Kecurangan harus jelas dulu standarnya. Nah, PNPK itu standarnya. Oleh karena itu, PNPK kita ingatkan kembali untuk segera dilengkapi di samping beberapa regulasi lain yang kami rujuk ke WHO," paparnya.
Di tempat yang sama, Menkes Nila mengaku masih terjadinya hambatan-hambatan terkait e-katalog alkes. Hal itu menjadi evaluasi apalagi setelah adanya kerja sama dengan KPK.
Pihaknya akan menindaklanjuti dan menyelesaikan hal-hal terkait tata kelola pengadaan alkes melalui ekatalog seperti yang disampaikan oleh KPK, disamping mempersiapkan dan melakukan uji coba penerapan e-katalog sektoral.
"E-katalog sektoral kami akan siapkan yang akan berlaku pada 2020 di mana akan dilakukan beberapa uji coba baik untuk obat atau alkes," ujarnya.
Sementara itu, Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan menambahkan KPK dan Kemenkes telah sepakat agar rencana aksi tersebut diterapkan dalam waktu dekat atau paling lama satu bulan ini.
Pihaknya juga bekerja sama dengan penegak hukum lainnya agar penanganan kecurangan-kecurangan sampai tingkat daerah bisa terpantau dengan baik dan dana yang telah dialokasikan untuk alkes sesuai dengan kebutuhan daerah masing-masing.
"Ini akan diatur syarat-syarat. Ada pedoman rumah sakit di daerah syarat tertentu apa saja yang boleh mbelalui e-katalog," katanya.