Bisnis.com, JAKARTA - Ada 4 hal penting yang harus dilakukan Pemerintah jika nantinya jadi merevisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Menurut lembaga Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) keempat hal itu adalah penghapusan pasal-pasal yang multifasir dan berpotensi menimbulkan overkriminalisasi, penyelarasan revisi UU ITE dengan RKUHP, serta mekanisme pengaturan blocking dan filtering konten.
Direktur Eksekutif ICJR Anggara mengatakan, revisi UU ITE harus menghapus pasal multitafsir seperti contohnya Pasal 27 ayat (1) UU ITE. Pasal itu memuat aturan soal pelanggaran kesusilaan.
"Unsur 'melanggar kesusilaan' memiliki konteks dan batasan yang tidak jelas sehingga harus diperjelas. Contoh lainnya adalah Pasal 28 ayat (2) UU ITE tentang penyebaran informasi yang menimbulkan penyebaran kebencian berbasis SARA. Pasal ini tidak dirumuskan sesuai dengan tujuan awal perumusan tindak pidana tentang propaganda kebencian," ujar Anggara dalam keterangan tertulis kepada wartawan, Senin (5/8/2019).
Hal kedua yang harus dilakukan pemerintah yakni memastikan proses revisi UU ITE sejalan dengan pembuatan KUHP baru. Kepastian ini harus muncul agar tidak ada duplikasi pasal antara kedua beleid.
Ketiga, revisi UU ITE harus mengembalikan hal baik yang pernah dirumuskan oleh UU ITE tahun 2008, bahwa mekanisme upaya paksa harus dengan izin dari pengadilan.
Revisi UU ITE juga diharap mendukung pembaharuan KUHAP dalam RKUHAP yang mengatur segala bentuk upaya paksa harus dengan izin pengadilan. Keempat, UU ITE nantinya diharap memperjelas mekanisme pengaturan blocking dan filtering konten.
Pemerintah telah menyisipkan kewenangan yang berimplikasi terhadap mudahnya aparat pemerintah dalam melakukan blocking dan filtering konten.
"Pada dasarnya ICJR memandang bahwa blocking dan filtering konten adalah kewenangan yang memang harus dimiliki oleh pemerintah. Namun, dasar dan syaratnya harus diatur dengan tegas dan jelas batasan konten atau muatan internet yang dapat dibatasi, bagaimana prosedur pembatasannya, dan bagaimana mekanisme pemulihannya karena berhubungan dengan pembatasan hak asasi manusia," tuturnya.
Menurut Anggara, nantinya juga diperlukan pembagian kewenangan yang jelas untuk memeriksa, mengeksekusi, dan mengawasi tindakan blocking atau filtering konten. Saat ini semua tindakan itu menjadi kewenangan Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Terakhir, lembaga ini ingin blocking yang dilakukan pemerintah nantinya dilakukan berdasarkan izin/penetapan pengadilan demi mengedepankan transparansi dan keadilan.
"Dalam UU ITE saat ini, prosedur pemutusan akses yang minim ditambah dengan indikator yang tidak memadai terhadap konten 'muatan yang dilarang' akan mengakibatkan kewenangan yang eksesif, yang rentan disalahgunakan Pemerintah,” ujar Direktur Eksekutif ICJR," ujarnya.