Bisnis.com, JAKARTA - Komisi Pemilihan Umum (KPU) menilai permohonan Partai Gerindra yang meminta Mahkamah Konstitusi mendiskualifikasi calon anggota DPR kader sendiri bersifat asumtif.
Di MK, Gerindra mengajukan permohonan sengketa hasil Pileg 2019 untuk menyelesaikan rebutan kursi DPR antara dua caleg Daerah Pemilihan Jawa Timur I. Gugatan Gerindra tersebut atas nama Bambang Haryo Soekartono yang meminta diskualifikasi rekan separtainya, Rahmat Muhajirin, yang dituding melakukan praktik politik uang.
Absar Kartabrata, kuasa hukum KPU, menyoroti dalil pemohon mengenai perolehan fantastis suara Rahmat kendati bukan figur publik. Padahal, menurut Absar, faktor popularitas belum tentu berdampak terhadap perolehan suara.
"Permohonan sifatnya asumsi. Kami menolak hal itu," katanya dalam sidang sengketa hasil Pileg 2019 di Jakarta, Senin (15/7/2019).
Absar juga meminta MK tidak menerima permohonan Gerindra. Pasalnya, kewenangan untuk mendiskualifikasi caleg atas dasar politik uang bukan berada di tangan MK.
Rahmat memperoleh 86.274 suara dalam Pileg 2019, terbanyak di antara caleg Gerindra Dapil Jatim I yang meliputi Kota Surabaya dan Kabupaten Sidoarjo. Lantaran Gerindra berhak atas satu kursi DPR, Rahmat berpotensi mewakili partainya di Senayan.
Bambang Haryo selaku caleg peraih suara terbanyak kedua keberatan dengan perolehan suara koleganya itu. Rahmat meraup 75.245 suara di Sidoarjo, sedangkan di Surabaya hanya 11.029 suara.
Muhammad Sholeh, kuasa hukum Bambang, menuding perolehan suara Rahmat di Sidoarjo berasal dari praktik politik uang secara masif yang tidak ditindaklanjuti oleh Bawaslu.
Dia pun membandingkan rekam jejak kliennya sebagai legislator petahana yang lebih populer dari Rahmat.
"Pemohon merasa sebagai caleg petahana banyak terjun di masyarakat tapi sangat kaget suaranya dikalahkan. Bukan oleh tokoh partai, artis, tokoh masyarakat, tapi [Rahmat] dari Dapil Jatim I, khusus Sidoarjo, terjadi suara fantastis," ujar Sholeh pekan lalu.