Bisnis.com, JAKARTA -- “Kalau nanti pemilihan seperti ini lagi, gabung Pilpres [Pemilihan Presiden] dan Pileg [Pemilihan Legislatif], saya kapok jadi panitia. Lelah, imbalan tidak seberapa,” ujar Mulyadi, Ketua Panitia Tempat Pemungutan Suara (TPS) 07 Kelurahan Cipayung Jaya, Cipayung, Depok.
Kerja sosial pada 17 April 2019 memang menyisakan trauma baginya.
Sejak beberapa kali pemilihan langsung digelar, seperti Pilpres dan Pileg 2014, hingga Pemilihan Wali Kota (Pilwalkot) Depok, Mulyadi tak pernah absen bergabung jadi panitia. Pengalaman sebelum pesta demokrasi tahun ini membuatnya yakin kembali melibatkan diri sebagai panitia.
“Kalau yang sudah-sudah, tidak berat tugasnya. Pagi sampai siang, melayani pemilih. Siang sampai sore, kerjaan panitia sudah tuntas,” kenangnya kepada Bisnis, Sabtu (4/5/2019).
Petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) mengenakan busana tradisional dalam Pemungutan Suara Ulang (PSU) di Tempat Pemungutan Suara (TPS) 17, Sukoharjo, Malang, Jawa Timur, Kamis (25/4/2019)./ANTARA-Ari Bowo Sucipto
Baca Juga
Namun, ternyata pemungutan suara pada tahun ini berbeda. Sistem eleksi Pilpres, pemilihan senator DPD, dan Pileg untuk DPRD tingkat Kota, Provinsi, serta DPR RI digabung dalam satu waktu.
Hasilnya, petugas di lapangan kelimpungan. Untuk TPS 07 saja, terdapat lebih dari lima orang tenaga sukarelawan yang jadi panitia, termasuk Ketua TPS.
Troy, selaku salah seorang panitia TPS 07, menuturkan sistem eleksi yang digabung membuat pekerjaan petugas lapangan bertambah. Dalam Pemilihan Umum (Pemilu) kali ini, setiap pemilih mempunyai hak mencoblos lima lembar surat suara.
Sudah begitu, terdapat pemahaman yang minim dari sisi petugas TPS maupun pemilih. Hal ini, menurutnya, mengakibatkan pekerjaan yang banyak tak kunjung usai.
Kondisi TPS 07, yang menuntaskan pekerjaan rekapitulasi dan pelaporan pada pukul 10.00 WIB pagi hari berikutnya, masih lebih beruntung dari tetangganya yaitu TPS 06.
Suhaeri, yang menjabat Ketua TPS 06, mengungkapkan sewaktu pelaksanaan dimulai, masih banyak petugas gagap memahami alur pemungutan suara. Kesalahan kecil seperti pemilih yang keliru memasukan surat suara ke dalam kotak khusus, turut menyisakan persoalan berbelit pada saat penghitungan.
“Panitia terpaksa membongkar seluruh kotak, karena ada yang kurang surat suaranya. Lantas ditelisik, dirapikan lagi, memakan waktu tidak sebentar,” ucapnya.
Persoalan juga muncul sejak hulu. Suhaeri mengungkapkan terdapat kemacetan dalam distribusi perangkat pemilihan seperti surat suara dan kotak suara.
“Sehingga panitia harus mengurus secara cepat, tapi tetap memakan waktu. Buka TPS pun jadi molor, itu beruntun hingga rangkaian selanjutnya,” terangnya.
Lebih jauh, meski dilengkapi buku panduan ketentuan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), yang memuat perihal suara sah dan tidak sah serta tahapan rekapitulasi, tapi para petugas kerapkali kurang memahami apa yang dijabarkan. Dari sana, muncul banyak problem sewaktu perhitungan suara dan rekapitulasi data.
Pada kasus TPS 06, terjadi pengulangan penghitungan suara DPR RI. Pada tahap penghitungan, terjadi cacat pencatatan sebab ada kalanya pemilih mencoblos lambang partai sekaligus wajah calon legislatif (caleg).
Pekerja memasukkan data ke Sistem Informasi Penghitungan (Situng) DKI Jakarta di Hotel Merlyn Park, Jakarta, Minggu (21/4/2019)./ANTARA-Reno Esnir
“Yang benar, suara sah bagi caleg dan partai jadi satu, tapi dicatat 2 kali, untuk partai 1 dan caleg juga. Akhirnya, sewaktu dini hari ditemukan ketidakcocokan angka, maka kami putuskan hitung ulang, memakan waktu sampai pagi lagi,” ujar Suhaeri.
Aldi, petugas TPS 06, mengiyakan kendala lapangan tersebut. Hingga menjelang pelaksanaan pemungutan suara, hampir seluruh petugas kurang memahami alur yang telah ditentukan KPU.
“Mungkin hanya ketua TPS yang benar-benar paham,” ungkapnya.
Aldi menyesalkan tidak maksimalnya bimbingan teknis (bimtek) bagi para petugas TPS di lapangan. Selayaknya, para petugas tersebut dilatih hingga matang dalam menjalankan tugas pada hari-H.
Tak jarang, para petugas terkejut sewaktu kelar menghitung suara karena harus merampungkan rekapitulasi yang berlipat-lipat.
“Untuk penghitungan suara sebenarnya malam hari sudah tuntas. Namun, merekapitulasi data, untuk Pileg saja harus direkap sebanyak partai peserta, belum DPRD, belum untuk saksi, ini yang membuat pekerjaan petugas non stop,” paparnya.
Kerawanan Pemilu 2019 pun telah diperkirakan sejak semula. Peneliti PARA Syndicate Ari Nurcahyo menilai kerumitan Pemilu sudah diperingatkan secara dini.
Pada tahap simulasi saja, terlihat bahwa tiap pemilih mesti menghabiskan waktu hampir 4-5 menit di bilik suara. Dia menuturkan dengan memakan waktu yang lama karena tiap pemilih dihadapkan kepada lima lembar surat suara, maka bisa dibayangkan pula lamanya proses penghitungan yang bakal terjadi.
“Kekisruhan ini sudah bisa dibayangkan sejak awal. Belum lagi jika pemilihnya lanjut usia (lansia), petugas pantia pun sudah dibayangkan akan kelelahan,” ungkapnya kepada Bisnis, beberapa waktu lalu.
Ari menyimpulkan walau dianggap lebih efisien, Pemilu serentak juga harus memikirkan dampak psikologis dan fisik, baik kepada pemilih ataupun petugas lapangan.
“Harus ada evaluasi, semisal apakah pemungutan suaranya itu nanti diperpanjang harinya,” ucapnya.
Ketua KPU Arief Budiman (kanan) menyerahkan santunan kepada keluarga almarhum Tutung Suryadi, petugas KPPS yang wafat, di Tangki, Tamansari, Jakarta Barat, Jumat (3/5/2019)./ANTARA-Aditya Pradana Putra
Makan Korban
Hingga awal Mei 2019, terdata sebanyak 377 orang petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) meninggal akibat kelelahan usai bertugas. Adapun petugas yang jatuh sakit sebanyak 3.022 orang.
Untuk para petugas tersebut, KPU berkomitmen memberikan santunan. Besaran anggaran santunan untuk keseluruhan korban mencapai Rp50 miliar.
Tugas bagi punggawa KPPS tidak hanya sewaktu hari-H. Sebagaimana dituturkan Aldi, sehari sebelum pemungutan suara, para petugas juga siaga mempersiapkan tempat dan segala macam infrastruktur TPS.
“Bagi yang muda-muda, begadang itu tidak soal, meski esoknya harus bangun pagi kembali, tidak tidur lagi. Tetapi, persoalannya ternyata banyak juga petugas KPPS itu berusia lanjut, ada yang di atas 50 tahun, itu yang berbahaya,” katanya.
Sejalan dengan peristiwa itu, berbagai kritik mengalir terhadap sistem eleksi 2019. Di antaranya, kritik tersebut untuk mengoreksi kesalahan teknis ataupun aturan main tempo penghitungan suara.
Selain kritik tersebut, ada pula yang menginginkan evaluasi menyeluruh terhadap sistem pemilihan serentak. Singkatnya, kritik ini menginginkan pemisahan kembali antara eleksi Pilpres dan Pileg.
Pelaksanaan Pemilu serentak ini sebetulnya telah diketok Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2014. Pada gilirannya, aturan itu termaktub dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Lewat payung hukum itu, KPU pun mendorong pelaksanaan serentak. Dalam pelaksanaannya, KPU memutuskan tahapan kampanye, pemungutan suara, hingga penghitungan suara semua jenjang pemilihan diadakan dalam satu waktu.
Petugas memanggul kotak suara menuju Tempat Pemungutan Suara (TPS) terpencil di Dusun Nampu, Desa Pojok Klitih, Kecamatan Plandaan, Jombang, Jawa Timur, Selasa (16/4/2019)./ANTARA-Syaiful Arif
Peneliti Senior Populi Center Afrimadona menyimpulkan problem dasar yang ditelurkan Pemilu 2019 yaitu kurang antisipatifnya perundangan terhadap ekses sosial. Jadi, persoalan yang kelak timbul akibat serentaknya Pemilu tidak menjadi pertimbangan.
Padahal, lanjutnya, Pemilu 2019 telah menelan dana jumbo, tak kurang dari Rp25 triliun.
“Gagasaan ini berujung pada semakin mahal ongkos politik maupun ongkos ekonomi,” tukas Afri, beberapa hari lalu.
Di sisi lain, Indonesia boleh berbangga dengan penyelenggaraan eleksi langsung dan dalam tempo serentak sebagai satu-satunya di dunia. Namun, wajah itu tercoreng dengan banyaknya sukarelawan yang akhirnya meninggalkan dunia.