Bisnis.com, JAKARTA — Pakar pemilu sekaligus Peneliti Senior Perludem Didik Supriyanto berpendapat bahwa kemungkinan keberhasilan langkah-langkah inkonstitusional dalam Pemilu, kebanyakan tak menghasilkan apa-apa.
Menurutnya, kedewasaan berpolitik dapat diukur dari kemampuan para pelaku mengikuti ketentuan legal-formal. Sebab itulah, langkah seperti people power atau pengumpulan massa untuk menuntut sesuatu dari Pemilu, seharusnya ditempatkan dalam ekspresi politik semata.
"Kita memang tidak bisa menghentikan atau melarang orang mengekspresikan sikap politiknya. Tapi tetap aturan main harus ditaati," ungkap Didik kepada Bisnis, Kamis (2/5/2019).
Andaikata nanti benar ada sengketa dari kedua kubu Pilpres 2019, dirinya mengimbau keduanya memperhatikan dan mengikuti segala aturan sesuai konstitusi. Di samping ada pengumpulan massa yang sifatnya ekspresi berpolitik saja.
Sebab itulah, Didik menjelaskan apabila memegang teguh konstitusi secara benar, beberapa wacana yang bergulir dalam Pilpres 2019 untuk membuat skenario kemenangan inkonstitusional kemungkinan berhasilnya dapat dikatakan mustahil.
Contohnya, pertama, wacana kecurangan. Sesuai konstitusi, perlu dilihat secara objektif bahwa kecurangan yang kecil dan tidak melebihi selisih suara, tidak dapat membatalkan hasil pemilu.
Baca Juga
"Karena disitulah menunjukkan kedewasaan politik kita. Bahwa pemilu itu ada menang, ada kalah. Bahwa kecurangan itu ada, tapi ada yang bisa ditolerir, ada yang tidak. Ada yang signifikan terhadap perolehan suara, ada yang tidak," jelas Didik.
Kedua, rekomendasi diskualifikasi salah satu pasangan calon. Menurut Didik, perlu dilihat lagi alasan dan argumentasinya secara jelas. Bukan hanya sekadar demi berpihak pada pasangan calon lain.
Ketiga, jangan ada lagi pihak yang menyesatkan masyarakat dengan membuat penerjemahan konstitusi tanpa dasar. Sebab, beberapa pihak mempertanyakan kembali syarat pemenang Pilpres lewat Pasal 6A ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi:
(i) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum; dan
(ii) dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.
Menurut Didik, tafsir pasal yang telah ditetapkan oleh Putusan MK nomor 50/PUU-XII/2014 ini, jangan sampai digunakan sebagai alat mendidik masyarakat menentang konstitusi.
"Itu bisa [digunakan] kalau pasangan calon [yang maju ke Pilpres] lebih dari dua. Kalau pasangan calonnya hanya dua, berlaku mayoritas mutlak 50 plus 1. Itu sudah dijelaskan oleh MK pada 2014. Lagi pula pasal lain juga ada yang menjelaskan. Jadi jangan [beedasarkan] satu pasal saja, harus dibaca lengkap," ujar Didik.