Bisnis.com, JAKARTA - Masyarakat sempat dibuat cemas dengan beredarnya informasi di media sosial yang menyebut bahwa fenomena equinox dapat mengakibatkan sun stroke dan dehidrasi. Padahal, faktanya tidaklah demikian.
Lalu apa sebetulnya fenomena equinox tersebut?
Menurut Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), equinox adalah salah satu fenomena astronomi ketika posisi matahari tepat berada di atas garis khatulistiwa/ekuator, sehingga saat equinox terjadi, maka siang dan malam memiliki waktu yang sama, yaitu masing-masing 12 jam.
Fenomena ini secara periodik berlangsung dua kali dalam setahun, yaitu sehari di musim semi dan sehari di musim gugur atau tepatnya pada 21 Maret dan 23 September.
Equinox Maret merupakan penanda awal musim semi di belahan Bumi utara dan musim gugur di belahan Bumi selatan. Sedangkan, equinox September merupakan penanda awal musim gugur di belahan Bumi utara dan musim semi di belahan Bumi selatan.
Di Indonesia sendiri, ketika equinox 21 Maret, maka kota - kota yang berada di ekuator, seperti Pontianak, Kalimantan Barat dan Bonjol, Sumatra Barat akan mengalami kulminasi dan transit. Saat tengah hari, matahari akan melintas tepat di atas kepala (arah zenith), sehingga disebut sebagai momen transit.
Baca Juga
Dampak
LAPAN menyebut peristiwa kulminasi itu tidak memberikan dampak yang luar biasa pada iklim di Bumi. Saat kulminasi belum tentu merupakan saat paling , karena atmosfer Bumi yang dinamis mengatur temperatur yang dirasakan di muka Bumi.
Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi LAPAN, M Ferdiansyah Noer, mengatakan tidak seluruh wilayah di Indonesia mengalami dan terpengaruh oleh equinox.
"Enggak ada yang istimewa. Kejadian alam dan sebagai penanda dimulainya musim panas. Dan berakhirnya musim hujan," ujar Ferdiansyah, dikutip dari laman resmi LAPAN, Selasa (26/3/2019).
Meski demikian, kulminasi bisa menyebabkan sun outage terhadap satelit komunikasi, yang terjadi sekitar 18-25 Maret.
Fenomena ini terjadi ketika matahari berada pada arah yang sama dengan arah datangnya sinyal setelit komunikasi yang mengitari Bumi pada ketinggian 36.000 kilometer. Pada saat itu, antena di wilayah Indonesia tidak dapat menerima sinyal dengan baik selam kurang dari 10 menit.