Bisnis.com, JAKARTA - Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menilai Undang-undang No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran harus direvisi segera mungkin guna menutupi sejumlah kelemahan meski belum lama diundangkan.
“UU Pedidikan Kedokteran memang masih sangat belia, namun banyak kekurangannya khususnya pada implementasinya sehingga menyebabkan UU ini perlu direvisi kembali,” ujar Wakil Ketua Komite III DPD, Novita Anakotta saat pembahasan inventarisasi materi penyusunan pertimbangan RUU tentang Pendidikan Kedokteran di Gedung DPD, Rabu (3/13/2019).
Menurutnya, beberapa kelemahan pada UU No. 20 Tahun 2013 tersebut di antaranya permasalahan distribusi dokter. Kedua, adanya sejumlah pasal dalam Undang-undang tersebut yang memicu kontroversi di antaranya penambahan profesi dokter layanan primer (DLP).
“Padahal UU No. 9 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran tidak mengenal DLP,” ulasnya.
Selain itu, lanjut Novita, di dalam UU Pendidikan Kedokteran juga belum disebutkan pendidikan berkelanjutan.
“Hal ini tentunya untuk merespon perkembangan teknologi, sosial, budaya, dan peningkatan kompetensi sehingga dokter dapat beradaptasi dengan perubahan yang terjadi,” tuturnya.
Baca Juga
Pada kesempatan yang sama, Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI), Titi Savitri Prihatiningsih melihat dari sisi peningkatan distribusi tenaga dokter.
Menurutnya, perlu kerjasama antara Pemda dan fakultas kedokteraan di daerah. Secara nasional di dalam Standar Nasional Pendidikan Dokter Indonesia, komponen muatan lokal akan diperbesar 30 hingga 50%.
“Maka setiap fakultas kedokteraan akan didorong untuk menyusun kurikulum dengan muatan lokal untuk menyelesaikan masalah kesehatan di daerah fakultas itu berada,” kata Titi.
Selain itu, Titi menyarankan, dalam penempatan lulusan program studi dokter pentingnya mengikuti internship dengan bekerjasama dengan Pemda dan organisasi profesi setempat. Dengan demikian, lulusan dokter akan didistribusikan secara merata.