Bisnis.com, JAKARTA -- Jaksa Agung Muhammad Prasetyo memastikan instruksi penangguhan eksekusi terpidana kasus tindak pidana informasi dan transaksi elektronik Baiq Nuril telah melalui pertimbangan matang.
“Saya perintahkan Kepala Kejaksaan Negeri Mataram melalui Kepala Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat untuk menangguhkan eksekusi. Itu sepenuhnya atas pertimbangan dan dilandasi diskresi kami,” katanya dalam Rapat Kerja Komisi III DPR dengan Jaksa Agung di Jakarta, Rabu (23/1/2019).
Prasetyo mengakui bahwa perkara Baiq Nuril sudah berkekuatan hukum tetap sejak putusan kasasi Mahkamah Agung diketuk pada September 2018. Namun, dia menangkap adanya disparitas perlakuan terhadap bekas pengawai honorer tersebut lantaran terdapat kasus lain yang diabaikan oleh penegak hukum.
Berkat diskresi Jaksa Agung, Baiq Nuril belum dijebloskan ke penjara sembari menunggu permohonan peninjauan kembali (PK)-nya di Mahkamah Agung.
Menurut Prasetyo, diskresinya itu membuat terpidana kasus lain ingin diperlakukan seperti Baiq Nuril.
Namun, Jaksa Agung menegaskan penangguhan eksekusi dalam kasus normal hanya dapat diberikan untuk terpidana mati yang mengajukan permohonan PK.
Baca Juga
Di tempat yang sama, Anggota Komisi III DPR Arsul Sani mengapresiasi kebijakan penundaan eksekusi Baiq Nuril. Apalagi, Selasa (22/1/2019), Komisi III DPR telah mendengarkan langsung curahan hati Baiq Nuril bersama dengan lembaga swadaya masyarakat yang mendampinginya.
“Mudah-mudahan penangguhan ini bisa jadi contoh baik ketika ada kasus yang jadi tanda tanya,” ujar Arsul.
Dalam pengaduannya, Baiq Nuril menjelaskan muasal kasus yang membuat heboh tersebut kepada para politisi Senayan. Dia menceritakan kembali kronologi perkara yang bermula dari pelaporan M, bekas Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram, yang menjadi atasannya.
Baiq Nuril menegaskan bahwa rekaman percakapan telepon dirinya dengan M dibuat untuk membela diri dari tuduhan perbuatan asusila. Namun, rekaman yang berisi percakapan tak pantas dari M itu tersebar kepada khalayak setelah diberikan kepada seorang teman.
M yang merasa tersinggung pun melaporkan Baiq Nuril ke polisi atas tuduhan tindak pidana ITE. Pengadilan Negeri Mataram membebaskan perempuan tersebut dari dakwaan yang direspon dengan pengajuan banding hingga kasasi oleh jaksa penuntut umum.
Kontras dengan pengadilan tingkat pertama, MA menyatakan Baiq Nuril terbukti melakukan tindak pidana dalam Pasal 27 ayat (1) jo Pasal 45 ayat (1) UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Dia dihukum penjara enam bulan dan denda Rp500 juta.
“Saya pikir rasa keadilan tidak ada. Harapan saya mengajukan PK untuk meminta keadilan dan bisa bebas dari hukuman,” kata Baiq Nuril.