Bisnis.com, JAKARTA - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) memandang pemidanaan terhadap narapidana lanjut usia (napi lansia) sebaiknya dilakukan dengan sistem asimilasi bertahap dengan menjadikan rumah sebagai tempat pembinaan.
Hal itu dilakukan mengingat napi lansia merupakan kelompok yang memerlukan perlakuan khusus.
"Sudah sepantasnya napi lansia mendapatkan perlakuan khusus karena kondisi dan kebutuhannya yang berbeda dengan klasifikasi napi lainnya," kata Direktur Eksekutif ICJR Anggara melalui keterangan resmi yang diterima Bisnis, Senin (21/1/2019).
Pernyataan ICJR datang bersamaan dengan rencana pembebasan narapidana Abu Bakar Ba'asyir (ABB).
Baca Juga
Napi berusia 80 tahun itu disebut akan bebas karena alasan kemanusiaan atas keputusan Presiden Joko Widodo. Bukan melalui pembebasan bersyarat atau grasi sebagaimana narapidana lainnya.
ICJR mencatat selama ini belum ada napi lansia yang memperoleh perlakuan khusus sebagaimana Ba'asyir, padahal selain ABB, terdapat napi lansia lainnya yang memerlukan perhatian khusus.
"Ada napi lansia Ruben Pata Sambo yang bahkan juga memiliki gangguan kesehatan pada salah satu panca inderanya. Napi kasus pembunuhan yang telah berusia 77 tahun tersebut merupakan terpidana mati yang selama kurang lebih 12 tahun telah masuk dalam daftar tunggu eksekusi," papar Anggara.
ICJR mengungkapkan perlakuan khusus terhadap napi lansia lainnya perlu dilakukan supaya pemerintah terhindar dari dugaan diskriminasi.
ICJR juga mendesak pemerintah menepati janji pemberlakuan standar internasional terkait perlakuan terhadap napi lansia sebagaimana janji Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly pada Oktober 2018 lalu.
Berkaitan dengan hal tersebut, ICJR memberikan sejumlah catatan bagi pemerintah untuk mendorong realisasi standar internasional bagi napi lansia.
Pertama, suatu aturan baru yang meregulasi perlakuan khusus terhadap napi lansia perlu dibuat. Namun harus diingat bahwa pengaturan ini diutamakan bagi napi lansia yang memang berkebutuhan khusus dan dalam kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan untuk tetap di dalam lapas.
"Harus diakui dengan masalah beban lwpas dan rutan di Indonesia mencapai 202% pada Desember 2018, maka hak untuk mendapatkan lingkungan yang sehat memang menjadi kendala serius di dalam lapas," ujar Anggara.
Kedua, pembuatan aturan baru harus diikuti dengan tim evaluasi yang menilai apakah napi lansia memang harus berada di luar lapas atau justru tetap menjalani hukuman di balik jeruji.
Ketiga, pengawasan jalannya aturan ini harus ketat dengan koordinasi antarlembaga kejaksaan dan pemasyarakatan.
Keempat, Anggara menjelaskan bahwa perubahan skema pemidaan lantas tak membuat napi lansia bebas. Masih ada beberapa opsi yang bisa digunakan supaya napi lansia tetap menjalani hukuman pidananya, misalnya dengan menjalani hukuman di rumah.
"Upaya pengawasan terhadap napi lansia masih sangat mungkin dilakukan, misalnya dengan cara petugas lapas yang berkunjung dengan frekuensi tertentu ke rumah napi lansia yang bersangkutan," tutur Anggara.
Terakhir, apabila ingin merujuk pada ketentuan internasional, maka harus ada perlakuan khusus untuk napi lansia yang diancam dengan pidana mati, contohnya dengan pengubahan hukuman pidana mati.
"Secara internasional eksekusi mati terhadap orang yang berusia lanjut dilarang. Sehingga terhadap kelompok tersebut, pemerintah harus memikirkan jalan keluar. Salah satunya dengan cara mengevaluasi ketentuan yang mempersulit komutasi pidana terpidana mati," kata Anggara.