Bisnis.com, JAKARTA - Pengangkatan Jenderal TNI Andika Perkasa menjadi Kepala Staf TNI Angkatan Darat menggantikan Jenderal Mulyono menimbulkan banyak pertanyaan.
Anggota Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan Hasan Sadikin mengatakan bahwa serah terima jabatan ini tidak mendengarkan, mencermati, dan mempertimbangkan pandangan dan aspirasi masyarakat. Presiden juga seharusnya lebih mengutamakan pertimbangan dimensi profesionalitas dan kompetensi daripada aspek politis.
“Tapi, nampaknya pergantian KSAD yang baru saja terjadi lebih mengedepankan pertimbangan politik ketimbang pertimbangan objektif demi membangun profesionalisme militer,” katanya di Kantor KontraS, Jakarta (23/11/2018).
Hasan yang juga Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menjelaskan bahwa netralitas TNI menjadi dipertaruhkan dalam konteks menghadapi Pemilu 2019.
Hal ini karena presiden tidak memikirkan penataan generasi TNI yang lebih berjenjang dan taat dengan proses. Menurutnya, ini dapat berdampak buruk dalam regenerasi di tubuh TNI karena pergantian KSAD baru mengalami proses yang cukup cepat.
Baca Juga
“Padahal, masih banyak perwira tinggi TNI AD yang berasal dari angkatan 1984, 1985, dan 1986 yang juga memiliki kompetensi untuk menduduki jabatan KSAD. Sayangnya, Presiden tidak memilih mereka dan mengangkat Jenderal Andika yang berasal dari angkatan 1987,” ucapnya.
Tidak hanya itu, koalisi menilai proses pergantian Andika juga lebih dominan dipengaruhi elite politik di lingkaran Jokowi yang memiliki hubungan kekerabatan dengan KSAD baru dan menjadi tim pemenangan Jokowi.
“Situasi inilah yang membuat proses pergantian KSAD kental dimensi politisnya ketimbang profesionalismenya,” ungkapnya.
Ini tentunya menjadi tantangan dalam memajukan dan menegakkan HAM karena akan semakin sulit untuk dilakukan.
“Di sini, komitmen presiden dalam Nawacita yang berjanji menyelesaikan kasus pelanggaran HAM sepertinya hanya sebatas komitmen tanpa realisasi yang kongkrit,” ujar Hasan.