Bisnis.com, JAKARTA - Praktisi hukum menilai posisi pengembang properti selalu dilematis, jika berhadapan dengan pemerintah daerah yang kemudian bermuara para perkara penyuapan.
Praktisi hukum Erwin Kallo mengungkapkan bahwa pengembang properti selalu berada di dalam kondisi yang sulit dalam menjalankan bisnisnya dan memenuhi harapan konsumen di Indonesia. Menurutnya, hal tersebut adalah salah satu pelajaran yang diambil dari kasus hukum yang menyandung megaproyek Meikarta.
Dia mengatakan bahwa suap dan pungli dalam pembangunan proyek properti menjadi hal yang lumrah terjadi karena perilaku birokrasi yang belum sehat. Menurutnya ada oknum birokrat yang mengarahkan dan menciptakan kondisi hingga suap dan pungli menjadi kewajaran.
“Tidak ada proyek properti di Indonesia yang tidak pakai suap atau pungli, karena rentang perizinannya itu terlalu panjang dan terlalu banyak. Satu proyek properti di Indonesia tidak berhubungan hanya dua instansi, yaitu Kementerian Luar Negeri dan TNI, di luar itu semua berurusan,” ujarnya, Minggu (18/11/2018).
Dikatakan, dalam masalah suap dan pungli di sektor properti ini, ada pengembang yang memang terpaksa harus membayar karena kalau tidak dibayar, maka tidak jalan dan ada juga pengembang yang memang bersalah, sehingga mereka bayar supaya izinnya mulus.
“Suap itu bukan berarti ada masalah. Tidak ada masalah pun harus suap. Di Indonesia ini benar pun pakai ongkos. Bayar itu untuk percepatan, karena bisnis itu masalah waktu,” tambah Erwin.
Baca Juga
Penundaan Proyek
Erwin menjelaskan penundaan suatu proyek, karena perizinan akan menimbulkan biaya yang sangat besar terhadap proyek tersebut. Dia moncontohkan salah satunya biaya overhead yang akan membengkak jika terjadi penundaan proyek.
Perilaku suap, katanya, tak terlepas dari rumit dan banyaknya perizinan yang mesti diurus oleh pengembang, mulai dari pembebasan lahan, sertifikasi tanah, sampai izin mendirikan bangunan (IMB) pun para pengembang sudah dikenakan pungli.
"Kalau Anda tidak mau menjalankan itu, ya tidak bakal jalan proyeknya. Anda mau urus IMB, bayar, dan mana ada yang tak bayar di Republik ini. Ada ketidakikhlasan dari aparat birokrasi itu untuk mempermudah tanpa mereka mendapatkan sesuatu," pungkasnya.
Di lain kesempatan, praktisi hukum Eddy Marek menegaskan bahwa suap dan pungli yang terjadi dalam kasus properti adalah terkait masalah mentalitas. Sepanjang mentalitas belum berubah, artinya masih bekerja setengah hati, atau bekerja karena ingin mendapat imbalan tertentu di luar gaji resmi, tentunya masalah-masalah seperti perizinan yang terhambat akan terus terjadi.
“Saat ini kita sudah memiliki online single submission yang merupakan platform yang baik, yang mau tidak mau memaksa pejabat di pemerintah daerah untuk betul-betul mengikuti prosedur yang ada, karena jika tidak, keterlambatan akan dianggap menyetujui aplikasi yang disampaikan oleh pihak yang mengajukan permohonan perizinan,” kata dia.
Eddy menuturkan, proyek properti besar apapun sebetulnya, jika memang pengembang berfokus pada perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), sudah ada perangkat hukum yang mempermudah perizinan pengembang tersebut. Tentunya, perangkat hukum pemerintah pusat ini harus didukung oleh aturan di daerah masing-masing agar sinkron.
Aturan-aturan tersebut memangkas jenis dan jumlah perizinan yang perlu diperoleh dan juga jangka waktu yang ada. Bahkan, jika izin tidak diterbitkan, maka komplain bisa diajukan oleh pengembang sampai ke level kementerian. Namun, jika pengembang tidak hanya fokus pada MBR, maka tetap harus mengacu pada aturan yang ada secara umum.