Bisnis.com, JAKARTA – Komunitas XPedisi Feminis tengah memberi pemahaman sejarah perempuan nusantara, dan salah satu fokus adalah keterlibatan perempuan Indonesia dalam kepemimpinan ternyata telah ada sejak lama, namun jarang diulas oleh masyarakat.
Menurut Mariana Amirudin, tokoh aktivis perempuan Indonesia menekankan bahwa feminisme hanyalah alat untuk mencapai tujuan akhir perbaikan nasib kaum perempuan menuju kehidupan yang lebih adil.
Oleh sebab itu, anggapan bahwa feminisme hanyalah milik kebudayaan Barat sebenarnya merupakan klaim yang dapat digugat. Mariana mencontohkan dengan membawa feminisme dalam konteks sejarah Indonesia. Beliau lantas memaparkan materi Feminisme Nusantara dengan bercerita kisah perempuan pemimpin dalam sejarah Indonesia.
“Ada teks-teks yang tersembunyi dalam lipatan sejarah yang mengubur cerita-cerita raja-raja dan pemimpin perempuan. Tokoh-tokoh seperti Tribhuwana Tunggadewi dari Majapahit, Ratu Kalinyamat dari Japara, dan Nyi Ratu Mas Gandasari dari Aceh perlu diteliti dengan teori-teori feminis atau bahkan membangun teori feminis yang baru,” kata Mariana, Jumat (26/10/2018).
Mariana menegaskan, sudah saatnya catatan baru tentang feminis Indonesia yang berangkat dari sejarah masa lalu dilahirkan. Dia berpendapat sesungguhnya teori feminis bukanlah semata ideologi, melainkan perangkat analisis yang dapat menemukan hal yang baru dalam narasi pengetahuan perempuan. Termasuk narasi para perempuan Nusantara yang melahirkan feminisme Indonesia.
Sebelumnya, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yambise mengatakan pada Laporan Empat Tahun Pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla bahwa dalam empat tahun terakhir, pemerintah berhasil menaikkan indeks pembangunan gender (IPG) dari 90,82% pada 2016 menjadi 90,96% pada 2017. Begitu pula dengan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) yang pada 2015 masih 70,83%, pada 2016 menjadi 71,39%, dan pada 2017 naik lagi menjadi 71,74%.
Meskipun begitu Yohana tak menampik bahwa angka ini belum menggambarkan realitas posisi perempuan di masyarakat. Menurut Yohana, di parlemen Indonesia saja keterwakilan perempuan baru 17%. Begitu pula dengan Indeks Pembangunan Manusia laki-laki sudah mencapai 74,85% sementara perempuan baru 68,45%.
“Jadi kesenjangan ini masih nyata, meskipun sekarang sudah ada kampanye laki-laki untuk perempuan harapannya sudah ada kesempatan lebih luas untuk perempuan bisa memimpin,” terang Yohana.