Bisnis.com, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi menyatakan belum bisa memanggil Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk hadir dalam persidangan gugatan masa jabatan presiden dan wakil presiden.
Seperti diketahui, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengajukan diri sebagai pihak terkait dalam pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang diajukan oleh Partai Persatuan Indonesia (Perindo).
"Surat sudah kami terima dari A Irmanputra Sidin Associates soal permohonan menjadi pihak terkait, tapi pada saat ini belum bisa kita undang karena proses persidangan baru sidang panel kedua," ujar Ketua Hakim Panel Arief Hidayat di Gedung MK Jakarta, Senin (30/7/2018).
Arief menjelaskan sesuai dengan hukum acara di MK, hakim panel akan melapor dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) terkait dengan perbaikan permohonan pengujian tersebut.
Dalam RPH nantinya akan ditentukan apakah perkara uji materi tersebut akan diteruskan atau langsung diputus tanpa pemeriksaan lebih lanjut.
"Nanti akan kami laporkan, bahwa ada dua kemungkinan yaitu bisa diteruskan ke pleno (persidangan), atau bila dinilai cukup maka akan langsung diputus," kata Arief.
Baca Juga
Bila Mahkamah menilai permohonan ini sudah cukup dan akan diputus tanpa pemeriksaan lanjutan, maka Mahkamah tidak akan mendengarkan keterangan pihak terkait dalam hal ini adalah keterangan dari pihak Jusuf Kalla, jelas Arief.
Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 60/PUU-XVI/2018 ini menguji Pasal 169 huruf n UU Pemilu terhadap Pasal 7 UUD 1945 terkait dengan masa jabatan presiden dan wakil presiden terutama frasa "belum pernah menjabat dalam jabatan yang sama selama dua kali masa jabatan, baik berturut-turut maupun tidak berturut-turut, walaupun masa jabatan tersebut kurang dari tahun".
Sebelumnya dalam sidang pendahuluan, pemohon mendalilkan bahwa proses pengajuan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sebagai satu pasangan terkendala dengan adanya frasa a quo, dikarenakan Wakil Presiden Jusuf Kalla sudah pernah menjabat sebagai wakil presiden pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sejak 2004 hingga 2009.
Pemohon berpendapat frasa tersebut menjadi tidak relevan bila ditafsirkan bahwa pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung dibatasi oleh masa jabatan presiden dan wakil presiden untuk menjabat dalam jabatan yang selama dua kali masa jabatan, baik secara berturut-turut maupun tidak berturut-turut.
Dalam dalilnya pemohon menyebutkan seharusnya instrumen hukum perundang-undangan tidak boleh membatasi terlebih mengamputasi hak seseorang untuk dapat menjadi presiden dan wakil presiden, meskipun telah menjabat sebagai presiden dan wakil presiden dua kali masa jabatan yang sama sepanjang tidak berturut-turut.
Pemohon berpendapat Pasal 169 huruf n UU Pemilu sama sekali tidak memberikan batasan bahkan mempersempit persyaratan calon presiden dan calon wakil presiden dengan mencantumkan frasa "tidak berturut-turut".
Berdasarkan uraian tersebut, pemohon menilai penjelasan Pasal 169 huruf n UU Pemilu seharusnya dimaknai belum pernah menjabat dalam jabatan yang sama selama dua kali masa jabatan berturut-turut walaupun masa jabatan tersebut kurang dari 5 tahun.
Oleh sebab itu pemohon meminta Mahkamah menyatakan frasa "tidak berturut-turut" bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.