Kabar24.com, JAKARTA — Pakar komunikasi politik Emrus Sihombing menilai sikap permisif masyarakat terhadap politik uang menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2018 menunjukkan kegagalan pendidikan politik di Indonesia.
"Hal itu menunjukkan kegagalan politik di Indonesia," ujarnya via telepon kepada Bisnis, Minggu (13/5/2018).
Tanggapan Emrus tersebut merujuk pada hasil survei yang dilakukan oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS) yang dipaparkan Minggu (13/5/2018) di Hotel Morissey, Jakarta.
Adapun, dalam paparannya, CSIS menunjukkan 40%-48% dari total 4.694 responden di lima provinsi di Indonesia permisif terhadap praktik politik uang.
Berbeda dengan Emrus, Direktur Eksekutif CSIS Philips J. Vermonte menyatakan terdapat tiga hal yang menjadi alasan masyarakat untuk menerima pemberian uang/barang dari calon kepala daerah.
Hal pertama, menurut Philips, adalah masalah kultural masyarakat Indonesia. "Sudah menjadi kebiasaan masyarakat Indonesia untuk memberikan uang sebagai balas jasa," ujarnya.
Dalam hal politik uang, calon kepala daerah terlebih dahulu membayar jasa para pemilih sebelum pemilihan dimulai.
Kedua, masalah tingkat ekonomi. Philips mengatakan sebagian masyarakat menerima praktik politik uang karena faktor ekonomi. "Bagi sebagian masyarakat, uang dengan nominal Rp50.000 itu sudah sangat berarti," tambahnya.
Ketiga, hubungan vertikal yang tidak rasional antara pemilih dan calon kepala daerah. Philips menjelaskan dengan berakhirnya pemilihan kepala daerah, maka akan berakhir pula hubungan antara masyarakat dan kandidat yang dipilih.
Hubungan seperti ini menjadi pemicu dari terjadinya praktik politik uang menjelang penyelenggaraan pemilihan kepala daerah.
Masyarakat, papar Philips, berpikir setelah pemilihan mereka tidak akan berhubungan lagi dengan calon kepala daerah. Ini menjadi salah satu hal yang mendukung terjadinya praktik politik uang.
Terkait dengan dampak negatif dari praktik politik uang, Emrus mengatakan bahwa praktik tersebut dapat mendorong perilaku koruptif di pemerintahan.
"Sementara, demokrasi harus berdasarkan hati nurani, bukan karena dorongan-dorongan dari pemberian yang sifatnya materi," ujar dosen Pasca-sarjana Universitas Pelita Harapan, Jakarta, tersebut.
Emrus melanjutkan besar kemungkinan kandidat yang idealis akan kalah dari kandidat yang didorong oleh faktor logistik.