Bisnis.com, MATARAM -- Komisi Pemberantasan Korupsi membentuk Komite Advokasi Daerah di Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Pembentukan komite ini adalah salah satu upaya KPK untuk mencegah korupsi khususnya di sektor bisnis. Komite ini dibentuk sebagai forum komunikasi dan advokasi antara regulator dan pelaku usaha.
Dalam keterangan resmi yang diterima Bisnis.com, disebutkan kedua belah pihak dapat menyampaikan dan menyelesaikan bersama kendala yang dihadapi dalam penciptaan lingkungan bisnis yang berintegritas.
“Forum seperti ini penting karena KPK tak bisa bekerja sendiri dalam memberantas korupsi,” ujar Direktur Penelitian dan Pengembangan KPK, Wawan Wardiana di Mataram, Kamis (3/5/2018).
Pertemuan ini dihadiri para pemangku kepentingan komite advokasi, yakni Pemerintah Provinsi, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, Biro Administrasi Pembangunan, Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) Nusa Tenggara Barat, Asosiasi pengusaha Nusa Tenggara Barat, dan akademisi dari Universitas Mataram.
Pembentukan Komite Advokasi Daerah tidak hanya dibentuk di tingkat daerah tetapi juga tingkat nasional. Di tingkat nasional, komite ini bernama Komite Advokasi Nasional Antikorupsi.
Sebagai permulaan pada tahun 2018 ini ada lima sektor yang digarap di tingkat nasional yaitu minyak dan gas, pangan, infrastruktur, kesehatan, dan kehutanan.
Di tingkat nasional, komite advokasi ini dibentuk di sektor-sektor strategis yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat luas dengan melibatkan asosiasi usaha dan kementerian/lembaga terkait.
Untuk tingkat daerah, komite ini dibentuk berdasarkan geografis dengan melibatkan KADIN dan regulator daerah. Pada tahun 2017 KAD sudah dibentuk di 8 provinsi, dan pada tahun 2018 ini KAD akan dibentuk di 26 provinsi lainnya termasuk provinsi Nusa Tenggara Barat.
Gagasan pembentukan kedua komite ini berasal dari pengalaman KPK bahwa 80% penindakan yang ditangani KPK melibatkan para pelaku usaha. Umumnya modus yang dilakukan berupa pemberian hadiah atau gratifikasi dan tindak pidana suap dalam rangka mempengaruhi kebijakan penyelenggara negara, seperti dalam proyek pengadaan barang dan jasa serta perizinan.
Hingga Desember 2017, KPK mencatat pihak swasta sebagai pelaku tindak pidana korupsi terbanyak yaitu sejumlah 184 orang dibandingkan pejabat eselon I/II/III sejumlah 175 orang, anggota DPR dan DPRD sejumlah 144 orang, atau kepala daerah sejumlah 89 orang.
Korporasi atau perusahaan swasta bisa menjadi subjek hukum sejak Mahkamah Agung mengeluarkan peraturan No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi. Sanksi dari aturan ini bisa berupa denda berat. Hal ini mengikuti semangat corporate crime liability yang telah lebih dahulu dilakukan oleh
negara-negara maju seperti di Inggris dengan UK Bribery Act, dan Amerika Serikat dengan FCPA.