Kabar24.com, JAKARTA - Anggapan pemerintah bahwa penetapan tersangka terhadap pasangan calon kepala daerah sebagai sikap KPK yang memasuki ranah politik, sangat tidak bisa diterima dan menyesatkan.
“Pandangan pemerintah di atas sarat dengan absurditas,” ujar Ketua Setara Institute Hendardi, Selasa (13/3).
Dia menegaskan penetapan tersangka seharusnya dibaca sebagai langkah progresif untuk mewujudkan sebuah ‘penebusan dosa publik’. Politik saat ini, khususnya politik elektoral, lebih sering dimanfaatkan sebagai arena bersama elite untuk transaksi kepentingan antar mereka, bahkan dalam bentuk permufakatan jahat antara politisi dan pengusaha hitam.
Seperti diketahui pemerintah meminta kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menunda penetapan tersangka terhadap pasangan calon yang akan mengikuti Pilkada serentak 2018.
Dalam pernyataan yang disampaikan oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Wiranto, pemerintah beralasan bahwa penetapan calon kepala daerah sebagai tersangka bisa dinilai masuk dalam ranah politik, karena hal itu akan mempengaruhi pelaksanaan Pilkada.
Menko Polhukkam menegaskan, pasangan calon kepala daerah yang sudah terdaftar bukan hanya individu, tetapi sudah menjadi milik partai dan milik masyarakat pendukungnya, sehingga merepresentasikan perwakilan parpol dan para pemilih.
“Pernyataan tersebut misleading,” kata Hendardi.
Menurut dia, langkah penetapan tersangka KPK sebelum pemilihan harus dibaca sebagai upaya untuk memurnikan politik Pilkada, sehingga politisi-politisi korup sudah harus sejak awal masuk keranjang blacklist.
Selain itu derajat kepublikan yang melekat pada diri para pasangan calon yang sudah terdaftar mestinya semakin menuntut pengawasan hukum. Bukan malah memberi mereka imunitas hukum hingga penghitungan suara.
Semakin tebal derajat kepublikan yang melekat pada seseorang, semakin besar kuasa yang ada padanya.
“Artinya, akan semakin besar pula potensi abuse. Untuk mencegah abuse, harus semakin tinggi level kontrol hukum dan publik,” ujar Hendardi.
Namun dia mengingatkan bahwa KPK juga dituntut menerapkan standar operasi yang lebih presisi dan berintegritas. Komplain sejumlah pihak terkait operasi tangkap tangan (OTT) seperti dalam kasus penangkapan calon gubernur NTT misalnya, dimana standar OTT dianggap banyak pihak tidak terpenuhi, dapat merusak independensi KPK.
Hendardi menegaskan untuk mencegah tuduhan KPK berpolitik di tengah kontestasi Pilkada, due process of law harus dipedomani dan tidak semata-mata berorientasi pada dramatisasi penangkapan dan penegakan hukum.
Sebelumnya Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan beberapa peserta Pilkada 2018 yang tengah diselidiki KPK, 90% akan menjadi tersangka. Artinya, lanjut dia, pada beberapa calon tadi, penyelidikan telah dilakukan sejak lama dan gelar perkara pun sudah dilakukan.