Kabar24.com, JAKARTA — Jagat politik Tanah Air tengah riuh dengan penetapan kembali Setya Novanto, Ketua DPR yang juga Ketua Umum Partai Golkar, sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi KTP elektronik.
Pada Jumat ‘keramat’ yang bertepatan dengan Hari Pahlawan 10 November 2017, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan (lagi) Setya Novanto sebagai tersangka.
Setnov, panggilan singkatnya, diduga turut menguntungkan diri sendiri, orang lain, dan korporasi dalam proyek pengadaan kartu tanda penduduk berbasis elektronik yang nilainya mencapai Rp5,9 triliun.
Dari nilai proyek Rp5,9 triliun, potensi kerugian negara yang telah dihitung mencapai Rp2,3 triliun. Artinya, hampir setengah dari nilai proyek KTP elektronik itu dikorupsi.
Jangan heran, apabila implementasi proyek KTP elektronik itu banyak menuai masalah, mulai dari kualitas kartu yang mudah rusak, alat rekam yang ngadat, dan proses perekaman yang bermasalah. Sampai saat ini, masih ada warga masyarakat yang belum menerima fisik KTP elektronik, kendati proses perekaman sudah dilakukan tahunan.
Dalam urusan lapangan seperti ini, elite di republik ini lebih memilih berdiam diri. Mereka beranggapan bahwa proses pengadaan KTP elektronik ini berjalan normal saja. Atau di satu sisi, elite politik memilih diam karena mereka juga kecipratan duit korupsi.
Baca Juga
Bahkan, ada politisi yang justru membela mati-matian Setnov. Seolah-olah, proses penetapan tersangka yang dilakukan oleh KPK adalah bentuk dari perlawananan lembaga antirasuah itu terhadap mitra kerjanya.
Seorang Fahri Hamzah, Wakil Ketua DPR, misalnya secara terbuka menyebut bahwa Setnov adalah orang ‘sakti’. Bahkan, kesaktian Setnov itu bisa menandingi KPK.
Rasanya, pernyataan Fahri itu ada benarnya. Nyatanya, setelah ditetapkan sebagai tersangka (lagi), akrobat politik yang dilakukan Setnov semakin luar biasa.
Kalau pada penetapan tersangka yang pertama Setnov lolos dengan melakukan gugatan praperadilan dan memakai jurus sakit dengan terbaring di rumah sakit, kali ini perlawanan dari segala pintu dilakukan.
Melalui kuasa hukumnya, Setnov sudah mendaftarakan gugatan uji materi UU KPK. Sebelumnya, kubu Setnov juga melaporkan adanya tindak pidana pemalsuan yang dilakukan komisioner KPK, Agus Rahardjo dan Saut Situmorang.
Saat diminta KPK untuk hadir sebagai saksi untuk tersangka Anang Sugiana Sudihardjo, direktur Quadra Solution, Setnov memilih panen padi dan mengunjungi konstituennya di Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Setnov juga menolak panggilan KPK dengan dalih memiliki hak imunitas sebagai anggota DPR sehingga pemanggilan harus seizin Presiden. Semua dilakukan untuk ‘lolos’ dari sangkaan mahaberat dalam proyek KTP elektronik ini.
Hari ini, Rabu (15/11/2017), Setya Novanto juga menolak lagi hadir ke KPK untuk diperiksa sebagai tersangka.
Kolega Setnov di DPR, seperti Wakil Ketua DPR Agus Hermanto dalam pernyataannya mengisyaratkan bahwa kasus korupsi merupakan tindak pidana khusus yang tidak perlu izin Presiden untuk memeriksa anggota DPR.
Dalam upaya menjerat Setnov, KPK memang tidak bisa sendiri. Keseriusan memberantas korupsi di negeri ini harus dilakukan bersama-sama. Apalagi ini menyangkut hak dasar publik terkait dengan kepemilikan identitas.
Jangan sampai KPK dikelabui dengan alasan sakit, apalagi sampai ada yang menyebut sakti.