Bisnis.com, JAKARTA — Penerbitan beleid terbaru tentang paten ternyata tak juga mendorong penemu atau inventor lokal mendaftarkan karya-karyanya.
Padahal, pemerintah mengklaim terbitnya Undang–Undang No. 13 tahun 2016 tentang Paten, sudah memberi kemudahan bagi pelaku lokal.
Sesuai statistik Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) sepanjang tahun ini, tercatat sudah ada 6.027 permohonan paten yang sudah masuk. Sebagian besar datang bukan dari penemu atau inventor lokal.
Hal itu berbeda dengan para pemohon merek yang mayoritas datang dari dalam negeri. Sejauh ini, untuk merek sudah masuk sebanyak 43.373 permohonan.
Direktorat Paten, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (DTLST) dan Rahasia Dagang menyatakan, minimnya permohonan paten dari dalam negeri bisa karena kebanyakan industri yang berkembang di Tanah Air lebih banyak di bidang perdagangan.
Selain itu, temuan-temuan yang didapatkan pelaku lokal tidak dianggap sebagai aset, sehingga para penemu tidak lekas mendaftarkannya.
Baca Juga
“Pasar bebas seperti sekarang ini, semua temuan baiknya didaftarkan. Mengenai sektor mana saja, seharusnya pelaku usaha lebih mengerti pasarnya,” tutur Direktur Paten DTLST dan Rahasia Dagang Timbul Sinaga kepada Bisnis, Rabu (13/9/2017).
Timbul juga menampik bahwa minimnya permohonan paten lokal terjadi karena banyak pihak yang belum memahami dengan mendalam amanat beleid pengganti UU No. 14/2001 ini.
Pihaknya mengklaim sejauh ini beragam sosialisasi telah dilakukan, yang melibatkan unsur konsultan kekayaan intelektual, akademisi dan lainnya. Dari penelusuran Bisnis, sosialisasi yang digelar, kebanyakan menghadirkan peserta terbatas dan terkesan eksklusif, seperti di dalam ruang pertemuan maupun ruang rapat hotel.
Sebut saja seperti sosialisasi undang-undang di bidang kekayaan intelektual di Balikpapan yang melibatkan 50 peserta yang terdiri dari jajaran Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM, pemerintah daerah dan kalangan akademisi dari Universitas Balikpapan, Pada 29 Agustus.
Timbul juga mengaku masih mencari jurus, agar penemu lokal mendaftarkan berbagai temuannya. Menurutnya, persaingan usaha yang semakin terbuka dan menuntun inovasi, pelaku usaha lokal diharapkan dapat mengambil porsi.
“Makanya kami ingin lebih mendengar masukan dari Kadin maupun Apindo, agar beleid yang tujuannya untuk membesarkan pelaku lokal dapat benar-benar digunakan,” tambahnya.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Konsultan Hak Kekayaan Intelektual (AKHKI) Cita Citrawinda mengatakan sebenarnya pelaku lokal sudah sadar dan peduli, tetapi jika dikaitkan dengan persaingan industri makanya lebih memikirkan aspek bisnis daripada perlindungan KI.
“Sisi proteksi KI masih dikesampingkan, lebih memilih komersialnya,” katanya.
Di sisi lain, konsultan KI juga menyarankan kemudahan pendaftaran kekayaan intelektual untuk pelaku usaha kecil menengah, dipermudah dengan menyederhanakan persyaratan registrasi.
Sebelumnya, Wakil Sekretaris Jenderal Asosiasi Konsultan Hak Kekayaan Intelektual (AKHKI) Debbie Juliane Manurung mengatakan dari segi harga, pendaftaran kekayaan intelektual memang sudah berbeda. Akan tetapi, dari segi persyaratan yang dianggap masih memberatkan.
“Untuk UKM memang ada aturan tidak boleh diwakilkan, berbeda untuk pelaku usaha lain. Selain itu, UKM juga wajib menunjukkan dokumen dari Kementerian Perindustrian atau Kementerian Perdagangan,” tuturnya.
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 45/2016 tentang jenis dan tarif atas jenis PNBP yang berlaku di Kemenkumham diuraikan perbedaan harga pendaftaran UKM untuk hak cipta, paten, merek, disain industri dan lainnya. Misalnya untuk hak cipta, bagi UKM biaya pendaftaran senilai Rp250.000, sedangkan pelaku umum senilai Rp500.000.
Lain lagi untuk pendaftaran paten, pelaku UKM dibebankan biaya permohonan paten sederhana senilai Rp250.000, sementara pelaku umum senilai Rp1,25 juta. Debbie menambahkan biaya pendaftaran bagi pelaku umum masih tergolong wajar.
“Akan ada penyesuaian PNBP untuk beberapa pendaftaran, dari biaya tidak masalah. Masih tergolong wajar,” tambahnya.