Kabar24.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi dan aparat penegak hukum lainnya diminta turut mengawasi proses tender melalui layanan pengadaan secara elektronik (LPSE) di berbagai instansi pemerintah pusat hingga daerah.
Mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Marzuki Alie membeberkan praktik korupsi LPSE biasanya diawali dengan menetapkan persentase perusahaan yang boleh ikut lelang. Selain itu, modus lainnya dilakukan dengan menerapkan syarat administrasi yang tidak rasional.
“Kita sudah LPSE, tapi nyatanya korupsi masih jalan. Luar biasa korupsi kita di seluruh Indonesia, sudah ada jatah-jatahnya,” tuturnya dalam acara diskusi di Jakarta, Sabtu (11/3/2017).
LPSE merupakan sistem pengadaan barang dan jasa berbasis infrastruktur teknologi informasi. Setiap instansi kementerian, lembaga negara, serta pemerintah daerah biasanya memiliki sistem LPSE sendiri.
Marzuki lantas menceritakan proses tender LPSE oleh Sekretariat Jenderal DPR ketika dia memimpin lembaga negara itu pada 2009-2014. Dalam satu tender, panitia menggugurkan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) dengan alasan tidak memenuhi kualifikasi.
“Saya marah ke panitianya, kok Telkom perusahaan multinasional gagal administrasi? Saya sampaikan ke KPK waktu itu, minta diselidiki, tapi tidak ditindaklanjuti,” kata mantan Sekretaris Jenderal Partai Demokrat ini.
Marzuki meyakini status rawan korupsi itu juga terjadi di berbagai daerah. Namun, dia menyadari gejala ini sulit diberangus jika biaya politik dalam berbagai kontestasi politik masih tinggi seperti sekarang.
Bedanya, menurut Marzuki, hanya dalam publikasi. Korupsi di tingkat pusat lebih disorot karena melibatkan politisi nasional sementara praktik rasuah di daerah yang lebih masif sepi pemberitaan.
“Marilah kita memikirkan rakyat, kasihan. Terus terang masih banyak persoalan yang dihadapi, kemiskinan, pengangguran,” ujar pria asal Sumatra Selatan ini.