Bisnis.com, JAKARTA -- Berawal dari gagasan relawan pengajar muda Indonesia yang pernah berpengalaman mengajar di daerah terpencil, lahirlah program Seribu Anak Bangsa Merantau Untuk Kembali (SabangMerauke). Sebuah program pertukaran pelajar antar daerah yang dapat mengajarkan anak Indonesia tentang toleransi, pendidikan dan kenasionalan.
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki lebih dari 17.500 pulau, 350 etnis suku, serta 480 bahasa dan budaya. Cakupan wilayah Indonesia yang begitu luas dan masyarakatnya yang sangat heterogen menjadi tantangan begitu banyak generasi muda Indonesia untuk meresapi toleransi.
"Masih kurangnya toleransi antar umat beragama dan suku di Indonesia salah satunya karena banyak dari mereka yang tinggal dalam lingkungan yang homogen dan seringkali memiliki keterbatasan akses untuk saling mengenal keberagaman. Dari sinilah tercetus ide kita untuk mengadakan pertukaran pelajar antar daerah," ungkap salah satu pendiri SabangMerauke, Ayu Kartika Dewi dalam konferensi media di Annex Building, Jakarta, Selasa (11/8/2015).
Cita-cita yang ingin Ayu sampaikan adalah menyebarkan kebhinekaan kepada generasi muda Indonesia untuk menjadikan generasi muda sebagai generasi penggerak di daerah asalnya.
"kalau lebih banyak anak Indonesia mereka akan tumbuh jadi orang yang percaya kebhinekaan, dan tujuan akhirnya adalah menjadikan Indonesia sebagai tempat yang damai," tuturnya.
Ayu mengatakan, jumlah peminat untuk berpartisipasi menjadi Anak SabangMerauke (ASM) terus meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini membuktikan tingginya minat anak-anak di berbagai pelosok Nusantara untuk mencoba hal baru dan mengenal keberagaman.
"Tahun ini kami menyeleksi 933 kandidat yang berasal dari 257 daerah di Indonesia. Kami berharap ketika kembali ke lingkungannya masing-masing para ASM bisa menjadi duta perdamaian," Ujar Ayu.
Ayu juga mengungkapkan bahwa biaya program pertukaran budaya ini sepenuhnya berasal dari sumbangan dan peserta tidak dipungut biaya sama sekali.
"Tahun ini untuk menyelenggrakan program ini sampai Rp250 juta. Yang mahal itu mendatangkan anak-anak dari pedalaman karena masih susahnya transportasi menuju ke daerah mereka," katanya.
Namun Ayu mengatakan besarnya biaya yang dikeluarkan akan sebanding dengan dampak yang akan dirasakan oleh peserta serta lingkungan di daerah asalnya.
"Yang kita perhitungkan bukan programnya tapi dampak programnya," tutupnya.