Bisnis.com, JAKARTA - Majelis Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akan mengirimkan surat pemanggilan disertai dengan peringatan kepada Joko Widodo terkait dengan perkara pembatalan perizinan ekspor dan pertambangan khusus bagi PT Freeport Indonesia.
Ketua majelis hakim Robert Siahaan mengatakan Presiden RI sebagai tergugat I dalam perkara gugatan warga negara (citizen law suit) tersebut tidak pernah hadir kendati sudah dipanggil oleh pengadilan secara patut sebanyak dua kali.
"Kami akan panggil tergugat I satu kali lagi, tetapi disertai dengan peringatan," kata Robert dalam persidangan, Selasa (17/3/2015).
Majelis telah mengambil sikap bahwa tergugat I akan ditinggalkan dalam proses persidangan jika tidak merespons panggilan tersebut. Tindakan tersebut sudah sesuai dengan ketentuan hukum acara perkara perdata.
Robert meminta presiden yang akrab disebut Jokowi tersebut untuk tetap menghormati proses hukum di pengadilan. Proses pemanggilan dinilai hanya membutuhkan waktu paling lama satu pekan karena domisili tergugat I masih berada di wilayah Jakarta Pusat.
"Persidangan akan ditunda hingga 24 Maret 2015," ujarnya.
Secara terpisah salah satu kuasa hukum Trisakti dan Nawacita, Arief Poyuono, menilai sikap dari Kepala Negara tersebut sangat tidak menghormati majelis hakim dan lembaga peradilan. Selain itu, masyarakat yang menjadi penggugat juga turut diremehkan.
"Kalau pekan depan [tergugat I] tidak hadir lagi, kami mohon agar di persidangan berikutnya majelis bisa menghasilkan keputusan secara verstek," kata Arief kepada wartawan seusai persidangan.
Dia mengharapkan hati nurani majelis untuk mengabulkan permohonan pembatalan yang diajukan. Menurutnya, selama ini tidak ada keuntungan bagi masyarakat jika perusahaan tambang asal Amerika Serikat tersebut masih beroperasi di Indonesia.
Arief menuturkan sampai saat ini kehidupan masyarakat di tanah Papua, yang menjadi lahan operasional Freeport, masih dalam kondisi sangat miskin.
Pihaknya juga menilai pihak Freeport tidak diwajibkan memberikan jawaban maupun eksepsi kepada majelis. Posisi perusahaan tersebut yang sebagai turut tergugat diartikan harus menurut kepada sikap tergugat.
"Harusnya kalau tergugat tidak menjawab ya, eksepsi maupun jawaban dari Freeport tidak perlu dipertimbangkan oleh majelis," ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, kuasa hukum Freeport menegaskan akan tetap menggunakan hak pembelaannya untuk mengajukan jawaban maupun eksepsi kepada majelis. Putusan majelis dalam perkara ini turut mempengaruhi perusahaan kami.
Namun, ketika hendak dikonfirmasi Bisnis, kuasa hukum tersebut enggan menyebutkan namanya maupun memberikan penjelasan lebih lanjut. "Minta tanggapan sama dia saja," sambil menunjuk kepada orang yang tidak terlibat dalam persidangan.
Perkara No. 50/PDT.G/2015/PN.JKT.PST tersebut menggugat kebijakan pemerintah telah memberikan waktu bagi Freeport untuk menyiapkan pembangunan fasilitas pemurnian dan pengolahan (smelter) bahan tambang mentah.
Kebijakan tersebut disahkan melalui Nota Kesepahaman (MoU) yang ditandatangani Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said untuk menyetujui perpanjangan ekspor konsentrat yang habis waktunya pada 24 Januari 2015.
Menurut penggugat, penandatanganan MoU tersebut inkonsisten dengan sikap pemerintah yang berulang kali mengancam akan menghentikan izin ekspor konsentrat tembaga Freeport.
Penggugat meminta majelis hakim membatalkan perjanjian pemerintah dengan Freeport, serta seluruh perjanjian dan atau produk hukum lainnya yang intinya memberikan izin ekspor meskipun belum memiliki smelter di Indonesia.
Selain itu, penggugat juga meminta agar Freeport tidak diperbolehkan melakukan ekspor dan penggalian tambang di Papua selama masa persidangan perkara tersebut hingga adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap.