Bisnis.com, JAKARTA -- Kasus dugaan korupsi videotron digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (23/10/2014).
Dalam persidangan, hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menolak keberatan yang diajukan Riefan Avrian, anak mantan menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Syarif Hasan.
Riefan menjadi terdakwa dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan videotron di Kementerian KUKM.
"Mengadili, menolak nota keberatan atau eksepsi dari tim penasihat hukum terdakwa dan menyatakan sah surat dakwaan penuntut umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan," kata ketua majelis hakim Nani Indrawati dalam sidang pembacaan putusan sela di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis.
Dalam pertimbangannya, hakim menjawab keberatan Rievan yaitu menyatakan bahwa perkaranya adalah perkara perdata.
"Mengenai keberatan bahwa perkara paket pengadaan videotron adalah murni perkara perdata, menimbang mengenai nota keberatan tim penasihat hukum mengenai hal tersebut, majelis hakim mempertimbangkan bahwa oleh karena untuk mengetahui apakah perkara tersebut menjadi domain perkara pidana atau perdata haruslah dibuktikan dahulu dalam pembuktian pokok perkara, sehingga keberatan terhadap dakwaan sudah menyangkut pokok perkara maka keberatan tim penasihat hukum haruslah ditolak," ungkap hakim Nani.
Selanjutnya terkait keberatan yang dikemukakan penasihat hukum Riefan bahwa kerugian negara yang dihasilkan oleh Rievan mencapai Rp5, 392 miliar sedangkan jumlah kerugian keuangan negara dalam dakwaan Hendra Saputra yang merupakan office boy di kantor Rievan, nilai kerugian negara tercatat Rp4,78 miliar, padahal keduanya dituntut melakukan kejahatan bersama-sama, hakim juga menolak keberatan tersebut.
"Menimbang keberatan yang pada intinya penyebutan jumlah kerugian negara berbeda pada dakwaan yang penuntutannya terpisah namun dilakukan secara bersama-sama, menurut majelis hakim tidak menyebabkan dakwaan penuntut umum menjadi tidak cermat dan tidak jelas sebab mengenai berapa kerugian negara secara nyata masih harus dibuktikan dalam persidangan, sehingga keberatan tim penasihat hukum harus ditolak," kata hakim Nani.
Sehingga atas putusan sela tersebut pada pekan depan hakim mulai melakukan pemeriksaan saksi.
"Saksi disusun berkelompok. Saksi Riefan dulu seluruhnya, kemudian dari Kementerian Koperasi, setelah itu yang terkait seperti notaris, bank. Kloter keempat saksi ahli, setelah itu terdakwa dan penasihat saksi a de charge," kata hakim Nani.
Dalam perkara ini Riefan didakwa melakukan pelanggaran hukum yang menyebabkan kerugian negara dalam pekerjaan videotron karena tidak melakukan pekerjaan sesuai kontrak, misalnya pemasangan LED Display Video Tron tidak sesuai gambar perencanaan, ukuran video tron dibuat dua kali lebih besar dari yang seharusnya 8 x 16 meter persegi menjadi 8 x 32 meter persegi, struktur baja yang tidak sesuai gambar, tidak ada pemasangan genset dan sejumlah pekerjaan lain.
Pekerjaan itu dilakukan oleh PT Imaji Media yang direkturnya adalah Hendra Saputra yaitu office boy di kantor Rievan yaitu PT Rifuel, namun sesungguhnya Hendra tidak melakukan pekerjaan sebagaimana yang disyaratkan dalam kontrak yaitu terkait pelaksanaan pekerjaan sesuai jadwal dan tidak dilakukan dengan cermat dan akurat.
PT Imaji Media pun telah mengajukan permintaan pembayaran oleh Kementerian KUKM 100% dengan total Rp23,41 miliar, tapi berdasarkan surat kuasa yang dibuat oleh Hendra Saputra kepada Rievan, hasil pembayaran pekerjaan videotron dicairkan oleh karyawan PT Rifuel atas perintah Rievan.
Atas perbuatan tersebut, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menilai kerugian negara mencapai Rp4,78 miliar ditambah perhitungan LED VideoTron oleh ahli teknologi Informasi dari Institut Teknologi Bandung senilai Rp3,3 miliar namun sudah ada pengembalian kepada kas negara oleh PT Imaji Media senilai Rp2,69 miliar sehingga total kerugian negara adalah Rp5,39 miliar.
Riefan didakwa berdasarkan pasal 2 ayat 1 jo pasal 18 ayat 1 b subsider pasal 3 jo pasal 18 UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Ancaman pelaku yang terbukti melanggar pasal tersebut adalah pidana penjara seumur hidup atau maksimal 20 tahun penjara dengan denda paling banyak Rp1 miliar.
Terkait perkara ini hakim pengadilan Tipikor juga sudah memvonis Hendra Saputra selama satu tahun penjara dan denda Rp50 juta subsider satu bulan kurungan pada 27 Agustus 2014.