Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Prancis Hadapi Krisis Politik, Pelaku Usaha Waswas Risiko Resesi

Prancis menghadapi krisis politik dengan voting kepercayaan yang dapat memicu resesi. Oposisi berencana menjatuhkan PM Bayrou, sementara mayoritas publik menginginkan pemilu baru.
Bendera Prancis di atas gedung Majelis Nasional di Paris, Prancis, pada Selasa (9/7/2024). / Bloomberg-Nathan Laine
Bendera Prancis di atas gedung Majelis Nasional di Paris, Prancis, pada Selasa (9/7/2024). / Bloomberg-Nathan Laine

Bisnis.com, JAKARTA — Keputusan Perdana Menteri Prancis Francois Bayrou menggelar voting kepercayaan pada 8 September 2024 mendatang dinilai membawa risiko besar bagi perekonomian, dengan kembali memunculkan kekhawatiran resesi.

Melansir Reuters pada Kamis (28/8/2025), oposisi menyatakan akan menjatuhkan pemerintahan minoritas Bayrou melalui pemungutan suara tersebut, yang diumumkan secara mengejutkan pada Senin (25/8/2025). Langkah itu kembali menjerumuskan ekonomi terbesar kedua zona euro ke dalam ketidakpastian politik.

Survei opini publik setelah pengumuman Bayrou menunjukkan mayoritas masyarakat Prancis kini menginginkan pemilu baru, menandakan meningkatnya ketidakpuasan terhadap politik dan ancaman ketidakstabilan jangka panjang.

“Moral kami sangat bergantung pada berfungsinya negara,” ujar CEO Carrefour, Alexandre Bompard, dalam konferensi bisnis, Rabu (27/8/2025).

Dia menambahkan, semakin besar ketidakpastian seperti sekarang, semakin tinggi risiko pukulan besar bagi ekonomi karena konsumen menunda keputusan belanja.

Ekonomi Prancis tumbuh 0,3% pada kuartal II/2025, ditopang oleh pemulihan belanja rumah tangga. Namun, Bompard mengingatkan, hanya konsumsi yang menopang pertumbuhan, kondisi ini justru menciptakan risiko resesi.

Ketua Asosiasi Pengusaha Medef, Patrick Martin, juga menyampaikan kekecewaannya. 

“Saya terkejut politisi tidak bisa mengatasi perbedaan mereka. Bermain-main dengan ekonomi membuat kita menghadapi risiko besar,” ujarnya.

Bayrou memutuskan voting kepercayaan untuk mengantisipasi mosi tidak percaya yang rencananya akan diajukan oposisi terkait rencana penghematan anggaran 2026. Namun, langkah itu justru berbalik arah karena oposisi secara terang-terangan berkomitmen menjatuhkannya.

Pemilu Baru di Depan Mata?

Presiden Prancis Emmanuel Macron, yang masa jabatannya berakhir pada 2027, sejauh ini menolak opsi mundur atau menggelar pemilu legislatif baru. Meski tidak berkomentar sejak Senin, opsi paling mungkin adalah mengganti Bayrou dengan perdana menteri baru.

Namun demikian, jajak pendapat Ifop, Elabe, dan Toluna Harris Interactive menunjukkan mayoritas rakyat Prancis (56%—69%) menginginkan parlemen dibubarkan untuk menggelar pemilu baru.

Survei RTL bahkan menunjukkan 41% responden ingin Partai National Rally (RN) yang berhaluan kanan ekstrem memimpin pemerintahan berikutnya, meski 59% menolak RN menjadi perdana menteri.

Sementara itu, survei Elabe untuk BFM TV mengungkap 67% masyarakat ingin Macron mengundurkan diri jika Bayrou kalah dalam voting. Survei Ifop untuk LCI menunjukkan hasil serupa.

Juru bicara pemerintah Sophie Primas menegaskan Macron tetap mendukung strategi Bayrou dan tidak membahas pembubaran parlemen dalam rapat kabinet pekan ini.

Bayrou, politisi sentris, berupaya menekan utang yang telah membengkak menjadi 113,9% dari PDB dan defisit yang hampir dua kali lipat batas 3% Uni Eropa. Rencana penghematan senilai 44 miliar euro mencakup penghapusan dua hari libur nasional dan pembekuan sebagian besar belanja publik.

Namun, pengumuman tersebut justru memicu aksi jual di pasar obligasi, mempersempit selisih imbal hasil obligasi Prancis dan Italia tenor 10 tahun.

Analis Morgan Stanley menekankan, baik skenario penggantian perdana menteri maupun pemilu kilat akan sama-sama memperpanjang periode ketidakpastian politik di Prancis.

Macron, yang pertama kali terpilih pada 2017 dengan janji memodernisasi Prancis melalui reformasi dan pemotongan pajak, kini menghadapi tantangan besar setelah berulang kali gagal menekan kebiasaan belanja negara.

Protes besar dijadwalkan berlangsung pada 10 September, dua hari setelah voting kepercayaan, dengan dukungan partai kiri dan sejumlah serikat buruh.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Sumber : Reuters
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro