Bisnis.com, JAKARTA -- Indonesia berpotensi mengalami kerugian hingga triliunan rupiah akibat ketidaksesuaian data pengiriman barang hasil hilirisasi nikel ke China.
Data kantor kepabeanan China, yang dikutip Senin (28/7/2025) mencatat bahwa pada tahun 2024 lalu, China mengimpor 8,59 juta ton feronikel dari Indonesia. Nilai impor feronikel itu mencapai US$12,71 miliar. Ada kenaikan secara volume ekspor dibandingkan tahun 2023 yang hanya 7,83 juta ton. Namun secara agregat angkanya mengalami penurunan dari US$14,42 miliar (2023) menjadi US$12,71 miliar.
Penurunan nilai itu dipengaruhi sejumlah hal, salah satunya adalah anjloknya harga komoditas nikel selama tahun 2024 lalu. Feronikel adalah produk turunan dari bijih nikel. Jenis komoditas tambang dengan kode harmonized code atau HS Code 72026000 itu, banyak digunakan sebagai bahan pemadu untuk pembuatan baja tahan karat.
Sementara itu, untuk komoditas nikel matte, data GACC mencatat bahwa selama tahun 2022-2024, nilai impor negeri tirai bambu dari Indonesia tercatat senilai US$7,3 miliar. Bisnis juga mencatat bahwa tren volume importasi nikel matte dari Indonesia terus meningkat secara kuantitas.
Pada tahun 2022, jumlah impor nikel matte China dari Indonesia mencapai 176.532 ton. Jumlah ini naik menjadi 277.650,6 ton pada tahun 2023. Angka importasi nikel matte kembali melonjak menjadi 384.166 ton pada tahun 2024. Total akumulasi jumlah impor nikel matte China dari Indonesia mencapai 838.349,4 ton.
Bisnis menemukan adanya selisih antara jumlah importasi feronikel dan matte nikel yang diekspor Indonesia ke China. Khusus untuk feronikel, pada tahun 2020-2024 atau selama 5 tahun terakhir, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa jumlah ekspor feronikel Indonesia ke China mencapai 29,08 juta ton. Data ekspor-impor BPS itu dikoleksi dari Bea Cukai.
Baca Juga
Sementara itu, yang tercatat di otoritas kepabeanan China, hanya sebesar 27,67 juta ton. Artinya ada gap sekitar 1,41 juta ton. Sedangkan secara nominal, gap-nya mencapai US$400,5 juta selama 2020-2024. China mencatatkan nilai impor feronikel yang lebih sedikit dibandingkan yang tercatat di Indonesia.
Berbeda dengan feronikel, importasi China terhadap komoditas nikel matte justru lebih banyak baik secara nominal maupun volume dibandingkan yang tercatat di Indonesia. Bisnis mencatat bahwa total akumulasi importasi nikal matte China dengan kode HS 75011000 mencapai 838.349,4 ton. Sementara yang tercatat di data resmi pemerintah Indonesia yakni BPS, mencapai 559.977 ton dan US$6,69 miliar. Selisih antara data Bea Cukai China dan BPS 2022-2024, mencapai 278.372,2 ton atau secara nominal sebesar US$666,9 juta atau sekitar Rp10,67 triliun (kurs 16.000 per dolar) hanya dalam waktu 3 tahun terakhir.
Artinya, jika nilai Rp10,67 triliun itu dihitung sebagai penghasilan perusahaan, dan dikaitkan dengan tarif pajak badan di Indonesia sebesar 20%, maka total potensi penerimaan PPh badan yang hilang dari eksportasi nikel matte sebesar Rp2 triliun.
Pemicu Selisih Data
Informasi yang dihimpun Bisnis menunjukkan bahwa, terjadinya gap antara jumlah ekspor dan impor produk turunan nikel itu terjadi dalam beberapa kondisi. Pertama, kemungkinan adanya perbedaan pencatatan antara otoritas di Indonesia dengan otoritas kepabeanan China.
Namun demikian, sejumlah dokumen yang diperiksa Bisnis, memastikan bahwa kategorisasi untuk feronikel dan nikel matte antara China dan Indonesia sama. Feronikel di dalam catatan kepabeanan di Indonesia maupun China termasuk dalam kategorisasi barang dengan kode HS 72026000. Sementara itu, nickel matte baik di Indonesia tercatat dalam kode HS 75011000.
Kedua, kemungkinan adanya abuse dalam proses eksportasi. Ada dugaan adanya kebocoran di tengah jalan dalam proses ekspor dari Indonesia ke China. Kondisi ini riskan, jika terjadi transaksi afiliasi yang melibatkan entitas sepengendalian atau grup perusahaan di negara lain. Ketiga, kemungkinan penghindaran pajak dan mengakali laporan devisa hasil ekspor yang diwajibkan oleh pemerintah mulai Maret 2025. Indikasi pelanggaran dalam kasus ini, biasanya terjadi ketika nilai ekspor yang dicatat negara asal lebih sedikit dibandingkan dengan nilai impor yang berada di negara tujuan.
Khusus yang ketiga, anomali ekspor itu terjadi di komoditas nikel matte. Nikel matte adalah jenis nikel yang biasanya digunakan untuk memproduksi nikel sulfat. Nikel sulfat adalah komponen penting untuk produk baterai. Nikel sulfat mulai diekspor di Indonesia pada tahun 2023. Jumlah kuantitas nikel sulfat yang diimpor China dari Indonesia mencapai 60.440 ton atau senilai US$224,5 juta pada tahun 2023. Sementara pada tahun 2024 naik cukup signnifikan menjadi 179.700 ton atau senilai US$616 juta. Transaksi impor itu dicatat oleh Bea Cukai China.
Sama seperti komoditas feronikel dan nikel matte, terjadi selisih antara nilai ekspor nikel sulfat, dengan kode HS 28332400, di data versi BPS dengan yang tercatat di Bea Cukai China. BPS tahun 2023, mencatat nilai maupun volume ekspor yang lebih tinggi dibandingkan di China. Versi BPS, ekspor nikel sulfat pada tahun 2023 mencapai US$234,3 juta dengan volume sebesar US$66.440 atau terjadi selisih sebesar 6.000 ton.
Namun pada tahun 2024, selisih antara data ekspor Indonesia dan impor nikel sulfat China terjadi perubahan. Tahun lalu, nilai ekspor yang tercatat di BPS hanya sebesar US$527,5 juta dengan volume ekspor sebesar 173.700 ton. Kalau dibandingkan dengan data impor China yang tercatat senilai US$616 juta dengan volume 179.700 ton. Terjadi selisih sebesar US$88,5 juta atau senilai Rp1,37 triliun kurs Rp15.500 rupiah per dolar AS. Sementara selisih volume ekspornya sebesar 6.000 ton.
Wakil Menteri ESDM Yuliot P Tanjung, saat dihubungi 13 Juni 2025 lalu, tidak membantah maupun membenarkan temuan Bisnis tersebut. Hanya saja, dia memastikan jika ditemukan pelanggaran, pihaknya akan menindak setiap eksportir yang terbukti melakukan praktik lancung dalam eksportasi nikel. “Kalau ternyata perusahaannya nakal ya bisa saja kita berikan sanksi termasuk penghentian kegiatan sementara. Ujung-ujungnya, ini bisa juga kita cabut izin usahanya.”