Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Migrasi Baru asal Tiongkok Perlu Dikaji Dengan Pendekatan Baru

Migran baru asal Tiongkok (Xin Yimin) berbeda dari etnis Tionghoa di Asia Tenggara dan Indonesia yang telah lama menetap.
Para pembicara dalam seminar berjudul “Peran Migran Baru Tiongkok (Xin Yimin) di Asia Tenggara,” yang diselenggarakan oleh Program Magister Ilmu Komunikasi (MIKOM) dan Magister Ilmu Hubungan Internasional (MHI) Universitas Pelita Harapan (UPH), bersama dengan Forum Sinologi Indonesia (FSI), Kamis (25/6/2025)/FSI
Para pembicara dalam seminar berjudul “Peran Migran Baru Tiongkok (Xin Yimin) di Asia Tenggara,” yang diselenggarakan oleh Program Magister Ilmu Komunikasi (MIKOM) dan Magister Ilmu Hubungan Internasional (MHI) Universitas Pelita Harapan (UPH), bersama dengan Forum Sinologi Indonesia (FSI), Kamis (25/6/2025)/FSI

Bisnis.com, JAKARTA- Istilah ‘migran’ yang belakangan ini digunakan untuk merujuk pada warga asal Tiongkok yang datang ke Indonesia dan Asia Tenggara dalam beberapa dasawarsa terakhir, dianggap rancu dan cenderung menimbulkan problema baik dalam aspek akademis maupun aspek sosial.

Hal ini karena istilah migran itu disematkan kepada orang-orang asal Tiongkok yang sebenarnya datang untuk sementara waktu ke negara tujuan, entah sebagai pekerja, pelajar, pebisnis, ataupun kegiatan lainnya.

Karena mereka datang untuk sementara dan dalam kelompok relatif besar, mereka tak dapat diharapkan untuk melakukan proses adaptasi dalam hal sosial dan budaya, seperti pendahulu mereka, yaitu etnis Tionghoa di Asia Tenggara, termasuk orang-orang Tionghoa Indonesia.

Pandangan di atas disampaikan Profesor Leo Suryadinata, peneliti senior pada ISEAS Yusof Ishak Institute, Singapura sebagai pembicara dalam seminar berjudul “Peran Migran Baru Tiongkok (Xin Yimin) di Asia Tenggara,” yang diselenggarakan oleh Program Magister Ilmu Komunikasi (Mikom) dan Magister Ilmu Hubungan Internasional (MHI) Universitas Pelita Harapan (UPH), bersama dengan Forum Sinologi Indonesia (FSI), pada Kamis (25/6/2025) di Jakarta.

Leo Suryadinata, Peneliti dan ilmuwan sosial yang menerima anugerah kebudayaan dari pemerintah Republik Indonesia pada 2018 itu, mengemukakan berbagai karaktersitik migran baru asal Tiongkok (Xin Yimin) yang berbeda dari etnis Tionghoa di Asia Tenggara dan Indonesia.

Menurutnya, orang-orang Tionghoa yang termasuk sebagai migran lama meninggalkan Tiongkok menuju negara tujuan, kebanyakan ke Asia Tenggara, selambatnya pada awal abad ke 20, dan dilatarbelakangi faktor ekonomi, khususnya kemiskinan.

“Orang-orang Tionghoa itu sebagian besar menuju dan bermukim di Asia Tenggara, dan menganggap Asia Tenggara sebagai tanah air mereka,” terang Leo.

Berbeda dengan Xin Yimin, mereka yang dikategorikan sebagai migran lama rata rata berasal dari provinsi-provinsi di Selatan Tiongkok, seperti Fujian, Guangzhou, dan Hainan.

Berbeda dari etnik Tionghoa yang sudah berakar di Asia Tenggara dan Indonesia, migran baru asal Tiongkok tidak datang untuk menetap.

Menurut Leo, mereka menjadikan negara-negara tujuan sebagai tempat untuk transit dalam proses migrasi yang bersifat sementara itu. Oleh karenanya mereka tak lagi berpegang pada istilah luodi shenggen (berakar di tanah yang mereka pijak) dan cenderung berpindah-pindah seperti daun teratai yang tak berakar.

“Karena mereka datang dengan jumlah besar, mereka akan berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesama kelompok mereka, sehingga proses integrasi antara mereka dan masyarakat setempat menjadi sangat sulit,” tutur Leo.

Leo beranggapan bahwa fenomena migran baru asal Tiongkok harus dikaji dengan sebuah pendekatan baru yang meskipun tetap kritis, tetapi tanpa bersifat apriori.

Sementara itu, ketua FSI yang juga Dosen Magister Ilmu Komunikasi (Mikom) Universitas Pelita Harapan (UPH), Johanes Herlijanto, menyesalkan masih adanya pandangan yang menyamakan antara warga Tionghoa yang baru dengan etnik Tionghoa di Indonesia dan Asia Tenggara.

Johanes menyatakan bahwa pandangan semacam itu kurang adil terhadap etnik Tionghoa yang bukan hanya telah berakar dan beradaptasi, tetapi juga telah memberikan kontribusi yang signifikan bagi kawasan Asia Tenggara, tempat mereka menetap selama berabad-abad.

“Tionghoa Indonesia, misalnya, telah memberikan sumbangsih yang signifikan bagi bangsa Indonesia. Mereka adalah orang Indonesia yang selalu mengedepankan identitas kebangsaan Indonesia,” tutur pemerhati Tionghoa asal UPH itu.

Peneliti Pusat Riset Kependudukan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Triyono sependapat dengan Profesor Leo Suryadinata dalam hal dampak positif dan negatif dari kehadiran investasi dan migran baru asal China.

“Kehadiran industri smelter di Sulawesi Tengah dan Tenggara menghidupkan perekonomian di daerah tersebut, ini hal yang jarang diungkap ke publik,” tuturnya.

Namun sosiolog tamatan Universitas Gajah Mada (UGM) itu juga menuturkan mengenai adanya persoalan budaya yang diakibatkan kehadiran migran baru asal Tiongkok itu. Persoalan itu antara lain mencakup miskomunikasi, mispersepsi, serta praduga antara migran asal Tiongkok dan masyarakat setempat.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Kahfi
Editor : Kahfi
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper