Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuka potensi untuk mengusut dugaan kerugian keuangan negara dalam kasus yang menjerat mantan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo.
Seperti diketahui, berdasarkan fakta persidangan kasus pemerasan dan gratifikasi yang tengah bergulir, mantan menteri dengan nama panggilan SYL itu disebut menggunakan uang negara maupun pejabat eselon I Kementerian Pertanian (Kementan) untuk memenuhi gaya hidup pribadi dan keluarganya.
Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri menjelaskan, upaya pembuktian melalui persidangan terhadap SYL masih berfokus sebagaimana dakwaan jaksa yakni pemerasan dan penerimaan gratifikasi.
Namun, dia tidak menutup kemungkinan pihaknya ke depan bakal mengembangkan berbagai fakta persidangan yang ada. Salah satunya apabila adanya kerugian keuangan negara yang timbul dari penggunaan sejumlah pos anggaran Kementan dengan tidak semestinya oleh SYL maupun pihak lain.
"Pasti kami akan kembangkan lebih jauh, apakah hanya berhenti pada pemerasan dalam jabatan atau suap gratifikasi atau TPPU, ataukah ada penggunaan-penggunaan anggaran lain yang bersumber dari APBN misalnya untuk kepentingan pribadi ataupun keluarga ataupun pihak lain sehingga tentu ini bisa dikaitkan dengan pasal 2 atau pasal 3 [UU Tipikor], yang artinya ada potensi kerugian keuangan negara," terang Ali kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (2/5/2024).
Meski demikian, juru bicara KPK berlatar belakang jaksa itu mengatakan potensi adanya kerugian keuangan negara akan dianalisis setelah proses persidangan saat ini selesai.
Baca Juga
Saat ini, papar Ali, jaksa penuntut umum (JPU) dari KPK masih fokus dalam pembuktian pada dakwaan pemerasan dan gratifikasi kepada SYL dan dua anak buahnya, mantan Sekjen Kementan Kasdi Subagyono dan mantan Direktur Alat dan Mesin Pertanian Muhammad Hatta.
Berdasarkan pemberitaan Bisnis sebelumnya, JPU KPK mendakwa SYL dan dua anak buahnya itu menikmati total uang hasil pemerasan hingga Rp44,54 miliar selama periode 2020–2023.
JPU menyebut SYL, Kasdi dan Hatta sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara memaksa sejumlah pejabat eselon I Kementan dan jajaran di bawahnya untuk memberikan sesuatu, membayar atau menerima pembayaran dengan potongan atau mengerjakan sesuatu bagi para terdakwa.
Ketiganya juga didakwa menerima gratifikasi mencapai Rp40,64 miliar pada periode yang sama. Dakwaan gratifikasi itu merupakan dakwaan ketiga yang dilayangkan kepada SYL, Kasdi dan Hatta.
"Kalau pemerasan ini kan berkaitan misalnya dengan ketika memindahkan jabatan atau kemudian ada promosi dan lain-lain. Nah, tentu itu kan bukan berdasarkan dari anggaran negara yang keluar untuk kegiatan tersebut," jelas Ali.
Dalam pemaparan JPU di surat dakwaan sebelumnya, dari puluhan miliar yang diterima SYL, Kasdi dan Hatta selama 2020-2023, beberapa mengalir ke keperluan istri sebesar Rp938,94 juta.
Kemudian, untuk keperluan keluarga Rp992,29 juta; keperluan pribadi Rp3,33 miliar; kado undangan Rp381,6 juta; Partai Nasdem Rp40,1 juta; dan acara keagamaan untuk menteri Rp16,68 miliar.
Selanjutnya, charter pesawat Rp3,03 miliar; bantuan bencana alam/sembako Rp3,52 miliar; keperluan ke luar negeri Rp6,91 miliar; umrah Rp1,87 miliar; serta qurban dengan total Rp1,65 miliar.
Di sisi lain, Bendahara Umum Nasdem Ahmad Sahroni juga mengungkap telah mengembalikan uang dari SYL ke KPK berjumlah Rp40 juta dan Rp820 juta.
Sementara itu, dari berbagai fakta persidangan sejauh ini, beberapa saksi menyebut SYL dan keluarganya turut menikmati uang bulanan hingga Rp30 juta per bulan serta uang makan di rumah dinas Rp3 juta per hari berasal dari pinjaman pihak ketiga.
Kemudian, pembayaran mobil baik lunas maupun cicilan (kredit) dari patungan eselon I Kementan maupun pinjaman, hingga untuk membayar biduan.