Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Tersangka Kasus APD Kemenkes Blakblakan Soal Mark Up Hingga Peran Gugus Tugas Covid-19

Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia (EKI) Satrio Wibowo diperiksa oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hari ini, Jumat (19/4/2024).
Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia (EKI) Satrio Wibowo usai diperiksa penyidik KPK atas kasus dugaan korupsi pengadaan APD Covid-19 Kemenkes, Jakarta, Jumat (19/4/2024)/Bisnis-Dany Saputra.
Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia (EKI) Satrio Wibowo usai diperiksa penyidik KPK atas kasus dugaan korupsi pengadaan APD Covid-19 Kemenkes, Jakarta, Jumat (19/4/2024)/Bisnis-Dany Saputra.

Bisnis.com, JAKARTA - Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia (EKI) Satrio Wibowo diperiksa oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hari ini, Jumat (19/4/2024).

Dia mengungkap soal proses pengadaan 5 juta set alat pelindung diri (APD) Covid-19 yang kini diperkarakan komisi antirasuah, sekaligus dugaan adanya penggelembungan harga. 

Satrio dikabarkan menjadi salah satu tersangka yang ditetapkan oleh KPK pada kasus tersebut. Kasus pengadaan APD pada pandemi Covid-19 itu diduga merugikan keuangan negara hingga Rp625 miliar. 

PT EKI diketahui merupakan perusahaan pemilik APD yang menyuplai barangnya ke PT Permana Putra Mandiri (PPM). PT PPM adalah perusahaan yang ditunjuk langsung untuk menyuplai APD oleh pemerintah dalam hal ini Gugus Tugas dalam keadaan darurat pandemi Covid-19.

"Asal mulanya diambil dulu barangnya [APD]. Jadi prosedurnya itu darurat, tidak ada proses lelang," kata Satrio kepada wartawan usai diperiksa penyidik di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (19/4/2024).

Satrio mengungkap bahwa awalnya pengadaan APD yang dipesan oleh Gugus Tugas, selaku kuasa pengguna anggaran (KPA), berjumlah 5 juta set. Namun, sampai dengan saat ini baru terserap sekitar 3 juta set. Dia menyebut saat ini tersisa kurang lebih 2 juta set APD yang masih tersimpan di dalam gudang. 

Gagalnya terserap keseluruhan 5 juta set APD itu lantaran munculnya audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Kepada Bisnis, Direktur Pengawasan Bidang Sosial dan Penanganan Bencana BPKP Wawan Yulianto sebelumnya telah mengonfirmasi pihaknya melakukan audit terhadap pengadaan APD itu. 

Hasilnya, ujar Wawan, terdapat koreksi kewajaran harga sebesar Rp625 miliar. KPK menduga bahwa ada penggelembungan harga atau mark-up dalam pengadaan APD itu. 

Pernyataan KPK itu dibantah oleh Satrio. Dia mengemukakan, awalnya sudah menolak suplai APD kepada PT PPM lantaran harga yang dipatok pemerintah senilai sekitar Rp300.000 terlalu rendah. Satrio mengklaim harga pasar bisa mencapai Rp1 juta hingga Rp2 juta. 

Menurutnya, ada dua pengadaan APD yang disuplai oleh PT PPM. Ada dua surat pesanan APD yang diterbitkan pada periode prapandemi dan sudah masuk pandemi. Dia mengatakan, harga Rp300.000 yang ditawar pemerintah hanya berdasarkan berita acara kewajaran harga secara sepihak oleh Kemenkes. 

"Jadi ada dua surat pesanan nih, beda. Jadi pas satu yang kondisi normal, atau prapandemi, satu lagi kondisi darurat. Jadi kami disangkanya mark up, padahal dugaan mark up," tuturnya.

Di sisi lain, Satrio pun menuding PT PPM tidak transparan dalam rekapitulasi soal perubahan harga APD itu. Kendati demikian, dia menyebut pada akhirnya menyepakati harga pemerintah tersebut. 

Oleh karena itu, Satrio menilai seluruh proses pengadaan APD antara pemerintah dan swasta sudah dilakukan sesuai dengan aturan. Dia mempertanyakan asal muasal kerugian keuangan negara yang diusut KPK. 

EKSPOR KE KOREA

Satrio lalu menjelaskan bahwa bahan baku pembuatan APD oleh PT EKI didatangkan dari Korea Selatan. Bahan baku bisa dikirim apabila PT EKI juga mengekspor APD ke luar negeri. Dia mengaku saat itu kesulitan untuk memproduksi APD di dalam negeri karena pemerintah turut melarang ekspor barang tersebut.

Sebagai penyedia barang, terang Satrio, PT EKI pun meminta bantuan Menteri Luar Negeri, Menteri Perdagangan serta Kepala BNPB sekaligus Ketua Gugus Tugas Covid-19 agar bisa mengekspor APD. 

APD yang dipasok oleh PT EKI itu merupakan produksi Korea Selatan dengan merek Boho. APD yang dipasok itu berupa hazardous materials atau hazmat. Singkatnya, PT EKI perlu mengekspor 50% dari total hazmat yang dimiliki agar bisa mendatangkan bahan baku dari Korea Selatan. 

"Jadi kondisinya saat itu darurat sekali, kalau enggak diekspor, kita enggak dapat bahan baku, APD enggak bisa diserap, enggak bisa kita jahit APD. Banyak perusahaan dapat surat pesanan enggak bisa suplai," jelasnya.

Satrio pun menduga perihal impor hazmat itu yang menjadi cikal bakal pengusutan dugaan kerugian keuangan negara oleh penegak hukum. Untuk diketahui, barang-barang impor keperluan penanganan Covid-19 diberikan pembebasan bea masuk dan pajak. 

Dia mengatakan bahwa ada laporan dari bea cukai yang menunjukkan adanya selisih harga. Selisih harga itu diduga merupakan penggelembungan harga. 

"Jadi dia melihat dari laporan tersebut yang di bea cukai cukup rendah dibandingkan dengan harga transaksi di pemerintahan. Jadi selisih ini dianggap kerugian negara," katanya. 

Sebelumnya, KPK menduga korupsi pengadaan APD Covid-19 di Kemenkes itu terjadi pada tahun anggaran (TA) 2020-2022. Dugaan korupsi itu melibatkan proyek 5 juta set APD senilai Rp3,03 triliun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Dany Saputra
Editor : Muhammad Ridwan
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper