Bisnis.com, JAKARTA - Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (HAM PBB) menyatakan prihatin dan mengungkap kekhawatiran terhadap Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 di Indonesia.
Organisasi itu menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menurunkan batas usia minimum calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang menguntungkan salah satu pasangan calon (paslon).
Komite HAM PBB merilis hasil temuan yang berisi keprihatinan terhadap beberapa negara dalam implementasi Konvensi Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik dengan salah satu negara yang disorot, yakni Indonesia.
"Komite mencerminkan kekhawatiran atas tuduhan adanya pengaruh yang tidak semestinya terhadap Pemilu 2024, di Indonesia, serta keputusan Mahkamah Konstitusi yang menurunkan usia minimum kandidat dan menguntungkan putra Presiden," bunyi laporan Komite HAM PBB.
Selain itu, Komite HAM PBB juga menyatakan merasa terganggu dengan pelecehan, intimidasi, dan penahanan sewenang-wenang terhadap tokoh oposisi.
Kemudian, Komite HAM PBB dengan tegas mendesak pemerintah Indonesia untuk menjamin Pemilu yang bebas dan transparan, mendorong pluralisme politik yang sejati, menjamin independensi Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan merevisi ketentuan hukum.
Baca Juga
Lalu, organisasi itu juga meminta pemerintah Indonesia untuk memastikan tempat pemungutan suara dapat diakses dengan mudah dan bebas pengaruh yang tidak semestinya dari para pejabat tinggi.
Sebelumnya, Anggota Komite HAM PBB Bacre Waly Ndiaye juga mempertanyakan netralitas Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan pencalonan anaknya Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres di Pemilu 2024.
Ndiaye melontarkan sejumlah pertanyaan terkait jaminan hak politik untuk warga negara Indonesia dalam Pemilu 2024, yang disampaikan pada Sidang Komite HAM PBB di Jenewa, Swiss, Selasa (12/3/2024).
Dia memberikan pertanyaan dengan menyinggung putusan MK tentang perubahan syarat usia capres-cawapres.
"Mengubah syarat pencalonan, memperbolehkan anak presiden untuk ikut dalam pencalonan. Apa langkah yang diterapkan untuk memastikan pejabat-pejabat negara, termasuk presiden, tidak bisa memberi pengaruh berlebihan terhadap pemilu?," katanya, dalam sidang PBB yang tayang di UN Web TV.
Saat itu, perwakilan Indonesia yang dipimpin Dirjen Kerjasama Multilateral Kementerian Luar Negeri Tri Tharyat tidak menjawab pertanyaan tersebut.