Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Timbul Tenggelam Suara Partai Islam

Pemilu 2024 menjadi titik nadir dalam sejarah partai Islam, karena salah satu wakilnya yakni PPP dinyatakan tidak lolos ke parlemen.
Petugas Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Jatinegara melintas di dekat kotak suara Pemilu 2024 di GOR Otista, Jakarta, Kamis (29/2/2024). Bisnis/Himawan L Nugraha
Petugas Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Jatinegara melintas di dekat kotak suara Pemilu 2024 di GOR Otista, Jakarta, Kamis (29/2/2024). Bisnis/Himawan L Nugraha

Bisnis.com, JAKARTA -- Partai Islam sedang menghadapi dilema antara mempertahankan idealisme politik atau kepentingan pragmatis supaya tetap bertahan dalam konstelasi politik nasional yang semakin cair. 

Konflik internal yang kerap terjadi dan lambatnya regenerasi politik menjadi masalah pelik bagi partai Islam yang sejauh ini belum mampu bersaing dengan partai beraliran nasionalis atau nasionalis religius. Sejak reformasi bergulir, tidak ada satupun partai Islam yang berhasil memenangkan kontestasi pemilihan umum (pemilu).

Ini berbeda dengan nasib partai-partai berhaluan nasionalis seperti PDIP yang telah memenangkan 4 kali pemilu, 3 di antaranya diperoleh secara berturut-turut.

Padahal kalau menilik sejarah, partai Islam sejatinya pernah memiliki kenangan manis pada era demokrasi parlementer sekitar tahun 1950-1959. Pada waktu itu, kekuatan politik Islam sangat diperhitungkan bahkan kerap tampil sebagai pemimpin pemerintahan. Masyumi adalah kekuatan Islam politik paling sentral.

Tokoh-tokoh Masyumi seperti Mohammad Natsir, Soekiman Wirjosandjojo, hingga Burhanuddin Harahap pernah berhasil membentuk kabinet dan mengendalikan politik pada era demokrasi parlementer. Masyumi juga pernah tampil sebagai lawan atau oposisi yang tangguh bagi kalangan nasionalis, khususnya kabinet Ali Sastroamidjojo dari PNI.

Namun demikian, pada tahun 1952 benih-benih keretakan melanda wadah besar politik umat Islam itu. Nahdlatul Ulama (NU) salah satu komponen utama sekaligus penyumbang suara bagi Masyumi memutuskan keluar dari partai. 

Mc Ricklefs, dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 menulis bahwa salah satu faktor yang memicu NU keluar dari Masyumi adalah penunjukan menteri agama yang bukan berasal dari kelompok Islam tradisionalis.

Namun versi NU dalam Buku Putih Benturan NU dan PKI yang dirilis pada 2013 lalu, keputusan NU keluar dari Masyumi tak melulu masalah bagi-bagi kekuasaan.

Pihak NU merasa jalan politik Masyumi semakin melenceng dengan kebijakan politik NU. Mereka tidak tegas dalam menghadapi DI/TII dan kebijakan politik luar negeri elite Masyumi yang condong ke Barat. Hal ini ditandai dengan sikap Perdana Menteri Soekiman dan Menteri Luar Negeri A. Subardjo yang menandatangani perjanjian Pakta Keamanan Bersama dengan Amerika (MSA) 1952.

Perjanjian ini bagi NU berarti menempatkan Indonesia ke dalam blok Amerika.Padahal sejak awal kemerdekaan, sikap politik luar negeri Indonesia adalah bebas aktif. Tidak memihak kubu politik manapun.

"Melihat penyimpangan garis politik itu bagi NU sudah tidak ada alasan untuk bergabung dalam partai Masyumi, walaupun turut merintis dan mendirikannya."

Sejak keluarnya NU praktis kekuatan politik Islam terbagi dalam dua kutub utama. Partai NU segera muncul sebagai saingan utama Masyumi. Masyumi memang masih cukup dominan, tetapi suara mereka merosot tajam dibandingkan sebelum ditinggal NU. 

Hasilnya dapat dilihat dari perolehan suara Pemilu tahun 1955. Pada waktu itu perolehan suara Masyumi sebanyak 20,92 persen atau berada di bawah PNI yang memperoleh suara sebanyak 22,32 persen.

Sementara itu, Partai Nahdlatul Ulama yang baru berusia seumur jagung berhasil meraup suara sebanyak 18,41 persen atau hampir mendekati suara Masyumi.

Memang selain NU dan Masyumi ada beberapa partai lainnya misalnya Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Pergerakan Tarbiyah Indonesia atau Perti, dan Partai Politik Tarikat Islam (PPTI), namun pengaruh dan suara ketiga partai politik itu tidak signifikan dalam konstelasi politik pada waktu itu.

Meski aspirasi politik umat Islam terpecah ke dalam beberapa partai politik, namun akumulasi suaranya lebih baik dibandingkan dengan kondisi saat ini. Total suara partai Islam pada Pemilu 1955 mampu menembus angka 43,69 persen. Sejarah mencatat bahwa capaian ini tidak akan pernah terulang pada pemilu-pemilu setelahnya.

Pada Pemilu 1971 misalnya, suara partai Islam turun drastis hingga tersisa sebanyak 27,04 persen dari total suara sebanyak 54,6 juta. Pemicu merosotnya suara partai Islam banyak hal mulai dari migrasi suara ke Partai Golkar hingga kebijakan politik Orde Baru yang mulai menerapkan depolitisasi pada awal dekade 1970-an.

Pemilu 1971 juga menjadi akhir dari cerita Masyumi dan partai Islam lainnya. Pasalnya, pada tanggal 5 Januari 1973, kelompok politik Islam baik itu Parmusi, Perti, NU hingga PSII dipaksa melebur atau fusi ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP). L

PPP Partai Kelas 2

PPP selama Orde Baru, hanya menjadi partai kelas dua dan selalu berada di bawah bayang-bayang pohon beringin alias Golkar. Suara PPP selalu berada di bawah superioritas Golkar. 

Pada pemilu 1977, misalnya, data KPU menunjukkan PPP hanya berhasil meraup suara sebanyak 99 kursi atau 27,5 persen dari 360 kursi parlemen. Angka ini jauh di bawah Golkar yang memperoleh 232 kursi atau 64,4 persen suara. PDI adalah cerita lain dalam sejarah Orde Baru. Partai ini selalu memperoleh suara paling sedikit dalam setiap Pemilu berlangsung.

Pada tahun 1982, suara PPP justru tergerus. Partai ini hanya memperoleh 94 kursi atau turun sebanyak 5 kursi. Demikian juga dengan PDI yang turun dari 29 menjadi 24 kursi. Suara beralih ke Golkar yang naik 10 kursi menjadi 242.

Suara PPP kembali tergerus pada pemilu 1987 menjadi 61 kursi atau anjlok menjadi 15,2 persen kursi di parlemen. Suara PPP digerus oleh melonjaknya suara PDI yang naik menjadi 40 kursi akibat Megawati Effect.

Pada dekade 1990-an, suara PPP membaik. Era keterbukaan menggerus suara Golkar sebagai penguasa. Pada pemilu 1992, PPP memperoleh kursi sebanyak 62 atau sebanyak 15,5 persen dari 400 kursi. 

PDI menjadi partai yang paling banyak memperoleh swing voter dari Golkar dengan perolehan 56 kursi atau mampu tembus di angka 14 persen. Suara Golkar tergerus menjadi 282 kursi. 

Menariknya, suara PPP di Pemilu 1997 kembali melonjak. PPP memperoleh sebanyak 89 kursi atau 20,9 persen dari 425 kursi. Melonjaknya suara PPP terjadi usai represi pemerintah Orde Baru terhadap PDI pro Mega (Megawati Soekarnoputri). Terutama setelah peristiwa 27 Juli 1996 atau Kuda Tuli.

Golkar suaranya kembali naik menjadi 325 atau 76,4% kursi karena mendapat sokongan militer dan penguasa. Sementara PDI harus puas di peringkat buncit. Kursinya hanya tersisa sebanyak 11 atau 2,5% di DPR akibat represi Orde Baru.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Halaman
  1. 1
  2. 2
Penulis : Edi Suwiknyo
Editor : Edi Suwiknyo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper