Bisnis.com, JAKARTA – Istilah CoC (Code of Conduct) dan DoC (Declaration of Conduct) sempat disinggung dalam Debat Capres 2024 yang berlangsung pada Minggu (7/1/2024) lalu.
Calon presiden (capres) nomor urut 3 Ganjar Pranowo menyebutkan istilah tersebut ketika menjawab pertanyaan panelis mengenai langkah Indonesia dalam mengelola konflik Laut China Selatan.
“DoC [Declaration of Conduct] dan CoC [Code of Conduct] Laut China Selatan selama 20 tahun lebih belum selesai,” ungkapnya saat Debat Capres 2024 di Istora Senayan, Jakarta Pusat
Menanggapi pembahasan tersebut, salah satu panelis debat dan juga pakar hukum internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana menjelaskan perbedaan antara CoC dan DoC dalam konflik Laut China Selatan.
Pada dasarnya, kedua hal tersebut merupakan rangkaian poin kesepakatan berbagai negara yang terlibat langsung dalam mengelola perselisihan tersebut.
“Declaration of conduct itu adalah, sebelum code of conduct itu kita buat deklarasi bahwa kita akan buat code of conduct. Cuma deklarasi beberapa poin saja sebenarnya,” katanya saat mengunjungi Wisma Bisnis Indonesia, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Selasa (9/1/2024).
Baca Juga
Dalam konteks Laut China Selatan, dia menjelaskan bahwa declaration of conduct menyatakan bahwa negara-negara yang terlibat setuju untuk menjaga kestabilan kawasan, untuk kemudian dijelaskan secara detail dalam code of conduct.
Hikmahanto melanjutkan, beberapa poin inilah yang kemudian mendasari perumusan code of conduct. Negara-negara terlibat untuk merumuskan banyak pasal dan ketentuan lainnya, sehingga memakan banyak waktu.
“Code of conduct itu turunan dari declaration of conduct. Terus kemudian seperti apa, ya ini yang sekarang jadi pembahasan. Ini yang harus banyak pasal dan lain sebagainya, yang [berjalan] alot,” katanya.
Dirinya memaparkan, salah satu faktor yang menyebabkan proses pembahasan CoC berjalan lama adalah tingkat ‘kenyamanan’ dari tiap-tiap negara, terutama China dengan negara-negara Asean.Hal ini juga berlaku bagi negara-negara lain yang banyak melintasi Laut China Selatan, seperti halnya Amerika Serikat dan Australia.
“Jangan sampai nanti China atau ASEAN, katakanlah menurut China sudah sepakat, tetapi Amerika melakukan pelanggaran. Lalu kita enggak bisa melakukan apa-apa. Nah, seperti itu, jadi memang lamanya di situ,” pungkas Hikmahanto.