Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Sukarno, saat masih menjadi tokoh pergerakan Kemerdekaan, pernah diasingkan oleh Belanda ke Ende, Nusa Tenggara Timur dan kemudian dipindahkan ke Bengkulu pada 1938.
Haji Masagoes Noer Moechamad Hasjim Ning, Raja Mobil Indonesia yang berjuluk Henry Ford Indonesia adalah orang yang paling sibuk kala itu karena harus menyiapkan keperluan Bung Karno di tempat pengasingan yang baru di Bengkulu sesuai instruksi ayahnya dan Mohammad Hatta.
“Aku perlu sepeda dan topi helm. Topi helm berwarna gading tua, bukan cokelat. Sepedanya merek Fongers dan tiga helai kemeja mereknya Van Huizen,” ujar Bung Karno seperti dituturkan Hasjim Ning dalam Otobiografi Hasjim Ning: Pasang Surut Pengusaha Pejuang, yang ditulis oleh A.A. Navis dan diterbitkan oleh Grafiti Pers pada 1986.
Sejak pertemuan pertamanya dengan Bung Karno, yang sebelumnya hanya dilihat dari gambarnya di beberapa koran nusantara, Hasjim makin dekat dengan tokoh pergerakan itu yang kelak menjadi Presiden pertama Indonesia.
Saat di tempat pengasingan di Bengkulu, Bung Karno dan Inggit Garnasih sempat melakukan kunjungan ke Bukittinggi. Perjalanan dari Bengkulu ke perbatasan Sumatra Barat menggunakan mobil, Selanjutnya, dari Kota Mukomuko hingga Painan di Kabupaten Pesisir Selatan, perjalanan dilanjutkan dengan pedati yang ditarik sapi.
Beruntung di Kota Painan, rombongan Bung Karno memperoleh mobil untuk melanjutkan perjalanan ke Kota Padang. Tak lama, rombongan kembali melanjutkan perjalanan ke Bukittinggi dengan menggunakan kereta api.
Baca Juga
“Ibu Inggit terkesan dengan Kota Bukit tinggi. Oleh hawanya dan pemandangan alamnya yang indah. Yang paling mengesankannya pula justru di kota itu ia kecurian kopornya yang berisi perhiasan emas intannya yang tidak berapa jumlahnya itu. Seluruh kota menjadi gempar ketika Bung Karno memberitahukan pada temannya Anwar St. Saidi, pendiri Bank Nasional,” ujar Hasjim.
Kejadian bermula ketika Bung Karno menginap di rumah temannya dekat pasar di Jl. Syekh Bantam, Bukttinggi. Saat itu, setiap hari Bung karno ramai dikunjungi orang, baik yang ingin berkenalan, menatap wajahnya hingga berdiskusi.
Namun rupanya, ada salah seorang diantaranya yang lebih tertarik pada koper yang tergeletak di dalam kamar tidur Bung karno.
Saat mengetahui koper Bung Karno dicolong, Muhammad Djamil Djambek, ulama pelopor pembaruan Islam dan ahli ilmu Falak, yang lebih dikenal dengan panggilan Inyik Djambek, segera memanggil pimpinan penjahat di Kota Bukittinggi.
“Malu awak, tolong carikan,” kata Inyik Djambek yang gerah karena sampai hati orang di kampung halamannya memperlakukan Bung Karno demikian, seperti dituturkan Hasjim.
Dua hari kemudian barulah koper itu lengkap dengan isinya diantarkannya kepada Inyik Djambek.
Butuh waktu dua hari karena sang pimpinan penjahat harus mengumpulkan semua barang yang telah terjual kepada tukang tadah. Si pencuri disebut seorang pemuda keturunan.
Baru belakangan, Hasjim mengetahui siapa pencuri sebenarnya. “Ah yang mencurinya memang orang awak,” ujar seorang temannya yang berasal dari Bukittinggi.