Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Usai G30S PKI, Dua Jenderal TNI Kostrad Dituding Hendak Menculik Dewi Sukarno

Pagi selepas peristiwa G30S PKI, Panglima Kostrad Mayjen Soeharto heran karena tak satu pun prajurit-prajurit baret hijau memberi hormat padanya.
Jenderal Yoga Sugomo menerima Bintang Mahaputra Adipradana dari Presiden Soeharto di Istana Negara/Buku Memori Jenderal Yoga/istimewa
Jenderal Yoga Sugomo menerima Bintang Mahaputra Adipradana dari Presiden Soeharto di Istana Negara/Buku Memori Jenderal Yoga/istimewa

Bisnis.com, JAKARTA — Pagi hari Selepas peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (G30S PKI), Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Mayor Jenderal Soeharto gelisah.

Pagi itu, Mayjen Soeharto belum mengetahui bahwa ada enam jenderal dan satu perwira menengah yang menjadi korban penculikan dan pembunuhan dalam peristiwa yang kemudian disebut sebagai G30S PKI.

Enam jenderal itu adalah Jenderal TNI Ahmad Yani, Mayjen Suwondo Parman, Brigjen TNI Donald Isaac Pandjaitan, Mayjen M.T Haryono, Mayjen R. Suprapto, Mayjen TNI Sutoyo Siswomiharjo, dan satu perwira Kapten Czi. Pierre Tendean. Ketujuh korban tersebut kelak dinyatakan sebagai Pahlawan Revolusi.

Jenderal Soeharto , yang kala itu menjabat sebagai ketua RT di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, mendapat firasat yang tidak enak saat mendapat informasi dari Mashuri Saleh, sekretaris RT di kediamannya di Jalan Haji Agus Salim No. 98, Menteng, pada dini hari 05.30 WIB tanggal 1 Oktober 1965.

Mashuri, yang kelak menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (6 Juni 1968—28 Maret 1973), Menteri Penerangan (28 Maret 1973—1 Oktober 1977), dan Wakil Ketua MPR (1 Okotber 1977—1 Oktober 1982), membangunkan Soeharto untuk mengabarkan bahwa ada informasi soal tembak menembak dekat kediaman Jenderal A.H. Nasution dan Jenderal Harjono.

“Saya terus mandi, memakai seragam lapangan saya, dan menyetir jeep sendiri. Di tengah jalan menuju Mabes Kostrad, saya melewati prajurit-prajurit berbaret hijau, yang berada di bawah komando Kostrad, tetapi tidak memberi hormat kepada saya,” ujar Soeharto, seperti dituliskan oleh O.G. Roeder dalam Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto (Gunung Agung: 31).

Nama Soeharto, yang semula sering disebut sebagai Jenderal pendiam, pasif, dan tidak neko-neko itu pun berbalik 180 derajat sejak 1 Oktober 1965.

Saat G30S PKI meletus, Soeharto sebagai Pangkostrad, jabatan yang diembannya sejak 1 Maret 1961 hingga 2 Desember 1965 mengambil insiatif untuk menjaga keamanan Ibu Kota dan Presiden Sukarno.

Tahun 1965, situasi politik memang tengah memanas karena PKI semakin agresif dan Sukarno, yang bagi sebagian orang memberi angin bagi PKI, baru saja mengancam akan keluar dari PBB jika badan tersebut menerima Malaysia duduk dalam keanggoatan Dewan Keamanan.

Rencana Pembunuhan Presiden Sukarno

Keamanan Presiden Sukarno pun menjadi perhatian karena pada 1965 sempat diisukan menjadi target pembunuhan. Pada 28 Mei 1965, Presiden Sukarno sempat menyampaikan kepada para panglima militer bahwa dia menemukan bukti-bukti mengenai rencana Nekolim (Neo Kolonialisme-merujuk kepada Inggris dan Malaysia) untuk membunuhnya.

Sejak pernyataan Sukarno tersebut, di Jakarta kemudian beredar desas desus mengenai adanya Dewan Jenderal, yang anggotanya terdiri atas sejumlah perwira TNI AD yang tidak loyal terhadap Bung Karno.

Dalam suasana seperti itu, Yoga Sugama, yang menjabat sebagai Atase Militer di Beograd Yugoslavia, pada 5 Februari 1965 dipanggil pulang Soeharto untuk mengemban jabatan sebagai Kepala Intelejen Kostrad atau tepatnya Asisten I (Intelejen) Kostrad.

Yoga Sugama karib Soeharto sejak di Jawa Tengah, itu pun menjalankan tugas misi intelejen dan berhubungan banyak dengan Mayjen Suwondo Parman, selaku Asisten I Angkatan Darat, terutama dalam menjalankan misi diam-diam perdamaian dengan Malaysia.

Untuk  pelaksanaan di lapangan, Yoga banyak dibantu oleh Letkol TNI Ali Moertopo. Tiga serangkai Soeharto, Yoga Sugomo, dan Ali Moertopo inilah yang kemudian bereaksi cepat atas peristiwa G30S PKI.

Yoga, seperti ditulis oleh B. Wiwoho dan Banjar Chaeruddin dalam Memori Jenderal Yoga (Bina Rena Pariwara, 1990)  adalah orang pertama di Kostrad yang memastikan bahwa dalang penculikan para Jenderal TNI AD dan peristiwa G30S adalah PKI.

“Pak Yoga jangan tergesa-gesa. Nanti bisa keliru,” kata Ali Moertopo, seperti dituturkan oleh Yoga kepada B. Wiwoho dan Banjar Chaeruddin.

“Tidak, Ini mesti perbuatan PKI. Kita tinggal mencari bukti-buktinya. Kita harus melakukan persiapan-persiapan,” kata Yoga.

Upaya-upaya mengorek informasi seputar G30S PKI pun digelar, dari mencari dokumen, penggerebekan hingga interogasi. Salah satu upaya yang ditempuh, yaitu mengorek informasi dari Dewi Sukarno, sang istri Presiden.

Mengatur Pertemuan Pangkostrad Soeharto dan Dewi Sukarno Soal G30S

Dewi Sukarno, wanita bernama asli Naoko Nemoto, yang genap berusia 19 tahun saat dinikahi oleh Sukarno pada 3 Maret 1962 adalah istri kelima Presiden Sukarno. Namanya sempat kembali muncul pada 1998 ketika bukunya berjudul Madame de Syuga menjadi perbincangan. Adapun, Kartika Sari Dewi adalah buah perkawinan antara Sukarno dan Ratna Sari Dewi.

Yoga sugomo, melalui usulan dari Martono (Menteri Transmigrasi 1983—1988), berupaya mempertemukan Pangkostrad Mayjen Soeharto dengan Dewi Sukarno atau Ratna Sari Dewi untuk mengorek informasi seputar kegiatan dan pemahaman Presiden Sukarno mengenai peristiwa G30S PKI.

Rencananya, pertemuan tidak resmi Pangkostrad dengan Dewi Sukarno dilakukan di lapangan golf. Sayangnya, pertemuan sangat rahasia tersebut nyatanya bocor dan kabarnya pun sampai ke telinga Sukarno dengan penafsiran yang sudah keliru (Memori Jenderal Yoga, 163). Selain itu, pertemuan Suharto dan Dewi Sukarno di lapangan golf ini juga kelak memicu kecemburuan Ibu Tien Soeharto. (Memoar Romantika Probosutedjo, Saya dan Mas Harto, Alberthine Endah, Gramedia Pustaka Utama, 2010).

“Tuduhan yang mereka lontarkan adalah Kostrad akan menculik Dewi!”

Akhirnya, suatu malam, datang ke Kostrad sejumlah orang yang mengaku utusan Presiden Sukarno mencari Yoga Sugomo dan Ali Moertopo untuk dihadapkan kepada Presiden.

Yoga, atas perintah Pangkostrad, tidak bersedia berangkat ke Istana. “Tidak! kalau mau perang ya perang. Pokoknya saya tidak mau berangkat,” tegas Yoga kepada sejumlah utusan tidak dikenal tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Gajah Kusumo
Editor : Gajah Kusumo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper