Bisnis.com, JAKARTA — Gerakan 30 September 1965 yang mengakibatkan gugurnya tujuh Pahlawan Revolusi atau lebih dikenal dengan G30S oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah peristiwa pemberontakan yang dilakukan PKI terhadap Pemerintah Indonesia untuk kedua kalinya, setelah pemberontakan di Madiun pada 18 September 1948.
Soe Hok Gie, dalam skripsi tingkat sarjana di Fakultas Sastra Universitas Indonesia dengan judul Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan, mengisahkan catatan menarik mengenai pertemuan mengharukan antara Sukarno dan Musso atau Muso Manowar, yang punya beragam nama lain, seperti Paul Musotte hingga Soeparto.
Musso, salah seorang pimpinan PKI pada 1920 yang sempat ditangkap pascapemberontakan pada 1926, beberapa kali pergi ke Uni Soviet (sekarang Rusia) untuk belajar dan bertemu Stalin.
Setelah kunjungannya yang kedua di Soviet, Musso kembali ke Indonesia, lewat Yogyakarta, pada 11 Agustus 1948.
Soe Hok Gie menuturkan, Pada pertengahan 1947, Soeripno, tokoh muda komunis, atas izin Menteri Luar Negeri H. Agus Salim, menjadi Duta Besar untuk negara-negara Eropa Timur sekaligus menjajaki diadakannya hubungan konsuler antara Indonesia dan Rusia.
Pada saat bersamaan sedang berlangsung Perundingan Renville, perjanjian antara Indonesia dan Belanda (8 Desember 1947—17 Januari 1948) di atas geladak kapal perang Amerika Serikat, sebagai tempat netral, USS Renville, yang berlabuh di Jakarta.
Tentu saja rencana menjalin hubungan diplomatik dengan Rusia dikhawatirkan bisa mengganggu Perundingan Renville, mengingat ketika itu Perang Dingin antara AS-Rusia tengah menghebat.
Soeripno kemudian dipanggil pulang oleh Pemerintahan Kabinet Hatta. Soeripno kembali pada 11 Agustus 1948 dengan seorang sekretarisnya yang bernama Soeparto.
Sejak datangnya mereka mulai timbul desas-desus tentang sekretaris Soeripno yang misterius. Dua hari kemudian misteri ini terjawab. Pada 13 Agustus 1948, Soeripno bersama sekretarisnya menemui Presiden Sukarno.
Begitu Sukarno dan Soeparto bertemu mereka berpelukan, karena mereka sebenarnya telah saling mengenal berpuluh-puluh tahun yang lalu. Soeparto adalah Musso, senior politik Sukarno di Surabaya dahulu. Mereka telah kenal sejak Soekarno indekos di rumah Tjokroaminoto. Musso sebagai pemimpin Sarekat Islam mengenal "pelajar" Sukarno yang masih muda.
Baca Juga : Pemberontakan PKI, Kisah Kakek Tora Sudiro Lolos dari Sergapan Gerombolan Komunis di Solo |
---|
Seorang wartawan yang menyaksikan pertemuan itu menulis sebagai berikut, “Bung Karno memeluk Musso dan Musso memeluk Sukarno. Mata berlinang. Kegembiraan ketika itu rupanya tidak dapat mereka keluarkan dengan kata-kata. Hanya pandangan mata dan roman muka mereka menggambarkan kegembiraan itu.”
“Sesudah penyambutan selesai, barulah Bung Karno berkata: Lho, kok masih awet muda? Jawab Pak Musso: O, ya. Tentu saja. Ini memang semangat Moskow, semangat Moskow selamanya muda," tulis Soe Hok Gie dalam Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan (Bentang, 1997, hal 212).
Sesudah upacara yang pendek itu, para tamu dipersilakan masuk ke kamar Bung Karno. Pak Musso ketika hendak duduk di sebuah kursi, tidak diperkenankan. Dia malah ditarik duduk di kursi panjang di samping Bung Karno.
Pembicaraan mulai berjalan dengan lancar. Dengan bangga Bung Karno menceritakan pada Saudara Soeripno tentang pergaulannya dengan Pak Musso di zaman yang lampau.
"Musso ini dari dulu memang jago. Ia yang paling suka berkelahi. Ia memang jago pencak. Juga orang yang suka main musik. Kalau berpidato ia akan nyincing lengan bajunya."
Presiden Sukarno Minta Pemimpin PKI Musso Bantu Negara
Agak panjang lebar Sukarno mengutarakan riwayat pergaulannya dengan Musso. Sebelum berpisah, Bung Karno minta supaya Pak Musso suka membantu memperkuat negara dan melancarkan revolusi. Jawab Pak Musso tak panjang: "Itu memang kewajiban saya. Ik kom hier om orde te scheppen."
Dan sejarah memang lucu. Musso akhirnya melancarkan revolusi di dalam revolusi Indonesia. Sesudah berpeluk-pelukan dengan bercucuran air mata di istana Presiden, 37 hari kemudian Musso berpidato tentang quisling-quisling (pengkhianat kolaborator yang bekerja sama dengan penjajah) dan penjual-penjual romusha Soekarno-Hatta.
“Sedangkan Sukarno beragitasi tentang pilihan rakyat pada Musso dan Sukarno-Hatta. Ik kom hier om orde te scheppen [saya kemari untuk membereskan],” tulis Soe Hok Gie.
"
Ikut Muso dengan PKI-nya yang akan membawa bangkrutnya cita-cita Indonesia Merdeka, (atau) Ikut Sukarno-Hatta."
Sehari seusai pemberontakan 18 September 1948 di Madiun, Presiden berpidato di corong RRI Yogyakarta.
“Saudara-saudara, camkan benar-benar apa artinya itu: Negara Republik Indonesia yang kita cintai hendak direbut oleh PKI Muso. Rakyatku yang tercinta. Atas nama perjuangan untuk Indonesia Merdeka, aku berseru padamu pada saat yang begini genting, di mana engkau dan kita sekalian mengalami percobaan yang sebesar-besarnya dalam menentukan nasib kita sendiri,’’ ujar Sukarno berapi-api.
“Ikut Muso dengan PKI-nya yang akan membawa bangkrutnya cita-cita Indonesia Merdeka, (atau) Ikut Sukarno-Hatta yang insya Allah dengan bantuan Tuhan akan memimpin Negara Republik Indonesia kita ke Indonesia yang Merdeka, tidak dijajah oleh negeri apapun juga.”