Bisnis.com, JAKARTA - Permintaan ke industri pertahanan atau produsen senjata di Amerika Serikat diperkirakan makin kuat pada tahun depan. Hal ini sejalan dengan langkah AS dan sekutunya untuk menambah persenjataan.
Dikutip Reuters pada Senin (18/12/2023), berdasarkan informasi dari 3 narasumber, saat Pentagon memanggil sejumlah pabrikan senjata besar AS untuk menghadiri rapat dan meminta menaikkan produksi hampir dua tahun lalu atau tak lama setelah Rusia menginvasi Ukraina, salah satu CEO perusahaan itu ragu dan menyatakan tidak mau jika nantinya akan banyak tumpukan stok roket di gudang saat perang usai.
Namun, kini produsen senjata kakap AS lebih percaya diri dengan proyeksi permintaan kuat pada 2024. Pasalnya, AS dan sekutunya terus menambah senjata dan peralatan canggih karena menilai Rusia dan China menyiapkan sejumlah aksi agresif.
Perhitungannya sederhana, misalnya, untuk memenuhi permintaan interceptor Patriot, sebuah proyektil yang ditembakkan ke rudal musuh, untuk militer AS, produksi akan naik dari 550 ke 650 roket dalam setahun. Dengan nilai sekitar US$4 juta per roket, terdapat potensi US$400 juta kenaikan penjualan tahunan untuk satu jenis senjata saja.
Kenaikan jumlah produksi dengan sistem lama akan selalu lebih menguntungkan ketimbang mengeluarkan biaya untuk investasi teknologi baru, maka permintaan yang lebih tinggi akan mengalir dengan cepat ke laba perusahaan.
Wall Street memperkirakan saham beberapa produsen senjata besar AS, yang dengan mudah melampaui kinerja indeks saham acuan S&P 500 selama dua tahun terakhir, diperkirakan akan terus meningkat.
Baca Juga
Saham perusahaan Lockheed Martin (LMT.N), General Dynamics (GD.N) and Northrop Grumman (NOC.N) diprediksi naik antara 5% dan 7% dalam 12 bulan mendatang, saat kinerja S&P kemungkinan hanya tumbuh terbatas.
Sebagai informasi, Ketua Asosiasi Industri Dirgantara AS Eric Fanning mengatakan stok senjata AS tidak penuh sebelum Rusia menginvasi Ukraina. "Musuh melihat persediaan kita mulai menipis dan habis," ujarnya.
Dia menambahkan, sebagai akibatnya, permintaan pun naik didorong oleh agresi China, ketakutan terhadap agresi Rusia, dan dukungan sekutu di Timur Tengah.