Bisnis.com, JAKARTA – Kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) mengemuka saat debat perdana calon presiden (capres) jelang pemilihan presiden (Pilpres) 2024 yang digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Selasa (12/12/2023).
Hal ini sejalan dengan tema debat capres perdana yakni pemerintahan, hukum, HAM, pemberantasan korupsi, penguatan demokrasi, peningkatan layanan publik, dan kerukunan warga. Debat menghadirkan ketiga capres yakni: Anies Baswedan, Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo.
Munculnya isu pelanggaran HAM pada debat capres itu seolah-olah membangunkan kembali isu yang terkesan "tidur" selama ini pasca-Ganjar mempertanyakan bagamana sikap Prabowo mengatasi kasus pelanggaran HAM jika menjadi presiden.
Awalnya, Ganjar bertanya ke Prabowo mengenai komitmennya untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu jika memenangkan Pilpres 2024. Dia menyebut terdapat 12 kasus pelanggaran HAM berat mulai dari peristiwa 1965-1966, peristiwa Talangsari 1989 hingga peristiwa Wamena 2003.
Dikatakan, pada tahun 2009 DPR sudah mengeluarkan 4 rekomendasi untuk presiden, yakni membentuk pengadilan HAM Ad Hoc. Kemudian, menemukan 13 korban penghilangan paksa, memberikan kompensasi dan pemulihan, dan meratifikasi konvensi anti-penghilangan paksa sebagai upaya pencegahan.
"Kalau Bapak (Prabowo) di situ apakah akan membuat pengadilan HAM dan membereskan rekomendasi DPR?" ucap Ganjar.
Baca Juga
Pertanyaan kedua, lanjutnya, di luar sana menunggu banyak ibu-ibu. Apakah bapak bisa membantu di mana kuburnya yang hilang agar mereka bisa berziarah?"
Pertanyaan tersebut pun langsung dijawab Prabowo. Dia mengatakan, dirinya sudah berkali-kali memberikan jawaban.
"Apa lagi yang mau ditanya kepada saya? Saya sudah jawab berkali-kali tiap 5 tahun kalau polling saya naik ditanya lagi soal itu," sambung Prabowo.
Mantan Danjen Kopassus ini meminta agar kasus pelanggaran HAM berat masa lalu tidak dipolitisasi.
Prabowo yang diusung Koalisi Indonesia Maju (KIM) ini juga menyebut bahwa Mahfud MD selaku cawapres Ganjar juga menangani kasus itu. Menteri Pertahanan RI itu lantas mengklaim bahwa dirinya sangat keras membela HAM. Dirinya lantas berkata bahwa banyak pihak yang dinilai sebagai korban pelanggaran HAM masa lalu kini mendukung dirinya sebagai capres.
“Jadi masalah HAM, jangan dipolitisasi, Mas Ganjar,” lanjutnya.
Ganjar kemudian menyayangkan jawaban Ketua Umum Partai Gerindra tersebut, dan menyebut bahwa tidak ada ketegasan dalam pernyataan yang disampaikan.
“Dua pertanyaan ini tidak dijawab. Kalau boleh meminta, kalau jadi presiden saya akan bereskan agar dalam kontestasi pilpres hal ini tidak akan muncul lagi,” katanya.
Prabowo pun beranggapan bahwa pertanyaan Ganjar tendensius menyudutkan dirinya, yang kerap disasar perihal kasus pelanggaran HAM berat.
“Tiga belas [orang] hilang ditanya ke saya, itu tendensius. Wakil bapak mengurusi saat ini, kalau mau ada nggak masalah,” pungkasnya.
Pasca-debat capres perdana, Ganjar menilai tak ada makna tendensius yang diajukan dirinya saat menanyakan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu kepada Prabowo.
"Saya ingin tunjukkan pada publik dan saya sedang tidak dalam posisi tendensius, tidak, (hanya) untuk pemberesan," kata Ganjar di kediamannya, Jalan Taman Patra Raya, Setiabudi, Jakarta Selatan, melansir Antara, Rabu (13/12/2023).
Mantan Gubernur Jawa Tengah itu menegaskan bahwa dirinya hanya mempertanyakan komitmen Prabowo menyelesaikan kasus HAM jika menjadi presiden. Hal tersebut sangat penting agar kandidat yang ikut pemilu berikutnya tidak lagi dikaitkan dengan kasus HAM.
Dia pun berkomitmen menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
"Kan tugas kami menyelesaikan. Menyelesaikan itu ada yang suka, ada yang tidak, tapi mesti diselesaikan," jelas Ganjar.
Ganjar berharap agar Prabowo bisa menjawab pertanyaannya mengenai kasus pelanggaran HAM masa lalu.
"Tapi karena tidak menjawab, it's okay. Ini akan keluar terus karena tidak pernah ada keputusan," tegasnya.
Tidak Ada Tenggat Waktu
Direktur Juru Kampanye Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar Pranowo-Mahfud MD, Mohammad Choirul Anam, mengingatkan bahwa pengungkapan kasus dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu sebetulnya tidak memiliki tenggat waktu kedaluwarsa, sehingga dibutuhkan kepastian hukum.
"Yang paling penting adalah isu dipahami secara teori, secara hukum, maupun secara praktik di seluruh dunia, kasus pelanggaran HAM itu kasus yang sifatnya kebijakan, sehingga karakternya lain.
Eks Komisioner Komnas HAM ini menegaskan bahwa tidak kasus itu tidak memiliki masa kedaluwarsa. Nggak ada kedaluwarsanya, oleh karenanya memang butuh kepastian hukum," kata Anam saat dijumpai awak media di Jakarta, Rabu (13/12/2023).
Anam juga mengingatkan bahwa kasus pelanggaran HAM masa lalu sesungguhnya memberi pelajaran pada masyarakat Indonesia mengenai makna demokrasi. Menurutnya, korban pelanggaran HAM sebetulnya dapat dikatakan pejuang.
"Tanpa pengorbanan mereka, demokrasi kita enggak sampai di titik ini. Terus bagaimana kita membayar jasa mereka? Ungkap kasusnya. Negara harus hadir di situ," kata eks Komisioner Komnas HAM itu.
Ketika ditanya apakah paslon Ganjar-Mahfud mau membuka ulang penyelidikan terhadap kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM masa lalu, Anam mengatakan hal tersebut terbuka untuk dilakukan apabila ditemukan fakta baru.
Namun terlepas dari hal tersebut, Anam mengingatkan, yang tak kalah penting untuk dipikirkan oleh pemangku kebijakan yaitu melakukan pemulihan hak pada korban pelanggaran HAM.
"Kalau ada fakta (baru), ya, silakan aja. Tapi kalau tidak, ya, tidak bisa. Tapi kalau hak korban, kan itu kan bisa di-trace, korbannya dapat apa, pemulihannya bagaimana, dan sebagainya. Itu yang juga penting. Jadi tidak hanya soal dibuka dan tidak dibuka," tukasnya.
Reaksi Koalisi Masyarakat Sipil
Koalisi Masyarakat Sipil pun memberi catatan terhadap debat capres perdana untuk masalah pelanggaran HAM.
Direktur Imparsial Ghufron Mabruri dalam keterangan tertulis yang diterima pada Rabu (13/12/2023), mengatakan bahwa dari ketiga capres yang mendiskusikan pelanggaran HAM Papua, Ganjar dan Anies menawarkan jalan dialog.
Hal ini dinilai jauh lebih progresif ketimbang Prabowo, meski secara gagasan ini bukan sesuatu hal yang baru, karena pernah didorong dan diusulkan oleh kelompok masyarakat sipil dan jaringan masyarakat sipil yang bergerak pada isu perdamaian Papua.
Sejak tahun 2000-an, ujarnya, didorong sebagai jalan untuk menyelesaikan konflik di Papua yang sampai sekarang belum dijalankan oleh pemerintah.
“Kalau kita mencermati pendekatan-pendekatan yang dijalankan oleh pemerintah dalam konteks penanganan Papua, di era Orde Baru cenderung mengedepankan pendekatan kekerasan dan pendekatan militer yang kemudian melahirkan pelanggaran HAM, pad Era Reformasi memang ada upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk menggunakan jalan non-koersif seperti pembentukan otonomi khusus dan pendekatan pembangunan. Di sisi lain harus diakui secara de facto pendekatan keamanan militeristik pasca 1998 sampai hari ini masih terus digunakan oleh pemerintah. Iu bisa dilihat dari pengiriman pasukan non-organik dari luar Papua yang melalukan operasi militer ke Papua,” jelasnya.
Salah satu pendekatan yang belum pernah dilakukan oleh pemerintah dalam konteks Papua adalah dialog.
“Kita punya pengalaman dengan konflik aceh yang diselesaikan melalui dialog antara pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka, dan Aceh hari ini masuk dalam fase perdamaian sekarang. Bicara soal dialog, bicara tentang jalan non-kekerasan. Dengan dialog itu mereduksi pendekatan-pendekatan militeristik,” tukasnya.
Ghufron menyebut bahwa dalam paparan Prabowo, tidak ada gagasan yang orisinil terhadap penyelesaian konflik Papua, bahkan ada kecerundangan untuk melanjutkan pendekatan-pendekatan selama ini yang dilakuka oleh pemerintah. Cara pandang yang terlalu state-sentris dan cenderung menyalahkan pihak asing yang ikut turun tangan dalam konflik Papua. Cara pandang ini justru akan melegitimasi cara-cara yang militeristik.
Sementara itu, Ketua Badan Pengurus Centra Initiative, Al Araf, menyebut bahwa secara umum Ganjar dan Anies cukup jelas dan clear menyampaikan pandangan terkait komitmen dalam isu penyelesaian kasus HAM masa lalu, isu reformasi hukum khususnya terkait mengembalikan negara kekuasaan menjadi negara hukum, dan jaminan kebebasan sipil serta penyelesaian konflik secara damai.
Dalam konflik Papua, dia menilai bahwa Ganjar dan Anies cukup jelas memaparkan bahwa pilihan penyelesaian pendekatan konflik Papua diambil dengan jalan dialog. Sementara, Prabowo lebih mengedapkan pendekatan pendekatan penguatan aparat, penegakan hukum.
“Menurut saya, dalam konteks konflik Papua harus dipahami sudah berulang kali pendekatan penguatan aparat keamaanan sebagai jalan penyelesaian konflik tetapi yang terjadi konflik tidak selesai dan yang ada adalah kekerasan dan pelanggaran HAM. Yang itu seringkali dilakukan dan gagal untuk dieksekusi.
Al Araf menyebut, bahwa Prabowo tidak memahami akar konflik Papua.
Untuk memahami itu semua, katanya, setidaknya diperlukan 4 pendekatan yaitu faktor sejarah, factor pemerataan ekonomi, politik dan tidak ada keadilan saat pelanggaran HAM terjadi.
“Masyarakat Papua marah karena tidak ada pemenuhan atas peradilan yang fair kepada para korban kekerasan. Pendekatan yang dilakukan oleh Prabowo kurang tepat dengan hanya melihat persoalan Papua dari sudut pandang ekonomi dan eksternal, mereka belum bisa memahami faktor penyebab konflik Papua secara komperhensif.
Adapun, Ganjar memiliki komitmen untuk melakukan pencarian terhadap korban pelanggaran HAM yang hilang dan berupaya untuk mengembalikannya dan membentuk pengadilan HAM.
“Pandangan ini sangat baik dalam penanganan kasus pelanggaran HAM berat. Kita akan catat dan ini jika nanti Ganjar terpilih sebagai presiden,” lanjutnya.