Bisnis.com, JAKARTA – Mahkamah Agung (MA) memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencabut aturan yang mempermudah para eks narapidana korupsi menjadi calon legislatif di Pemilu 2024.
Menanggapi putusan itu, KPU menggelar diskusi bersama para ahli hukum untuk menyikapi putusan MA itu pada Senin (2/10/2023). Komisioner KPU M. Afifuddin menyatakan pihaknya masih menampung setiap masukan dari para ahli.
Meski demikian, dia belum tidak memastikan apakah KPU akan melaksanakan putusan MA. Mereka baru akan mau membahasnya secara internal, usai terima masukan dari ahli ekternal.
“[Bukan dilaksanakan] bahasanya ditindaklanjuti [putusan MA itu], gitu ya,” ujar Afifuddin kepada wartawan, Senin (2/10/2023).
Adapun, perintah MA tersebut disampaikan dalam amar putusan perkara No. 38 P/HUM/2023. Perkara itu sendiri di ajukan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Saut Situmorang, dan Abraham Samad.
Para pemohon keberatan dengan Pasal 11 ayat (6) Peraturan KPU (PKPU) No. 10/2023 dan Pasal 18 ayat (2) PKPU No. 11/2023. Kedua pasal itu memperbolehkan eks koruptor yang telah menjalani vonis pencabutan hak politik, meski kurang dari lima tahun setelah bebas, bisa nyaleg.
Baca Juga
Padahal, dalam Pasal 240 ayat (1) huruf g dan Pasal 182 huruf g UU No.7/2017 dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) no. 87/PUU-XX/2022 juncto no. 12/PUU-XXI/2023 diatur masa jeda 5 tahun bagi para eks koruptor untuk bisa nyaleg setelah keluar dari penjara. Akibatnya, MA mengabulkan uji materiil dua pasal PKPU itu.
“Mengabulkan permohonan keberatan hak uji materiil dari para Pemohon,” tulis putusan MA.
MA pun menyatakan Pasal 11 ayat (6) PKPU No. 10/2023 dan Pasal 18 ayat (2) PKPU No. 11/2023 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan tidak berlaku umum, begitu juga pedoman teknis dan pelaksaan di bawahnya.
Oleh sebab itu, MA juga memerintahkan kepada KPU untuk mencabut dua pasal itu. Bahkan, MA juga memerintahkan KPU membayar biaya perkara sebesar Rp1.000.000.
Dalam pertimbangannya, MA merasa KPU malah mempermudah para mantan koruptor kembali memperoleh jabatan publik bukan malah memberi efek jera seperti jeda lima tahun nyaleg layaknya yang diatur UU.
“Dengan berpandangan tindak pidana korupsi [tipikor] sebagai kejahatan luar biasa, maka pidana tambahan berupa pencabutan hak politik merupakan penambahan efek jera bagi pelaku kejahatan tipikor, sehingga sudah seharusnya KPU menyusun persyaratan yang lebih berat bagi pelaku kejahatan yang dijatuhi pidana pokok dan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik,” tulis MA dalam pertimbangan yuridisnya.