Bisnis.com, JAKARTA - Pejabat Armenia melaporkan sedikitnya 32 orang tewas, termasuk tujuh warga sipil, dan 200 lainnya luka-luka. Namun menurut seorang pejabat hak asasi manusia (HAM) separatis Armenia, sedikitnya 200 orang tewas dan lebih dari 400 lainnya luka-luka dalam operasi militer yang dilakukan Azerbaijan di Nagorno-Karabakh.
Melansir BBC, Kamis (21/9/2023), jumlah warga tang tewas itu belum dapat diverifikasi.
Ribuan pengunjuk rasa turun ke jalan di Yerevan, Ibu Kota Armenia, pada hari Rabu (20/9/2023) untuk menuntut pengunduran diri Perdana Menteri Nikol Pashinyan atas penanganan krisis tersebut.
Tentara Azerbaijan mengatakan mereka telah merebut lebih dari 90 posisi dari etnis Armenia sebelum kedua belah pihak mengumumkan bahwa penghentian permusuhan sepenuhnya telah disepakati melalui pasukan penjaga perdamaian Rusia, mulai pukul 13:00 waktu setempat (09:00 GMT) pada hari Rabu (21/9/2023).
Berdasarkan ketentuan gencatan senjata, yang digariskan oleh Azerbaijan dan Rusia, yang memiliki pasukan penjaga perdamaian di lapangan, pasukan lokal Karabakh harus berkomitmen untuk dibubarkan dan dilucuti sepenuhnya.
Ada juga komitmen agar pasukan Armenia menarik diri, meskipun pemerintah Armenia menyangkal kehadiran militer di sana.
Baca Juga
Kepresidenan Azerbaijan mengatakan para pejabat akan bertemu dengan perwakilan Armenia di Karabakh untuk melakukan pembicaraan mengenai "masalah reintegrasi" di Kota Yevlakh, Azerbaijan, pada hari Kamis (21/9/2023).
Presiden Aliyev mengatakan rakyat Azerbaijan tidak menentang rakyat Nagorno-Karabakh, hanya "junta kriminal".
Yevlakh terletak sekitar 100 km (60 mil) di utara Ibu Kota wilayah Karabakh, Khankendi, yang dikenal sebagai Stepanakert oleh orang Armenia.
Warga Sipil Melarikan Diri
Marut Vanyan, seorang jurnalis di Karabakh, mengatakan banyak keluarga menghabiskan Selasa (19/9/2023) malam di ruang bawah tanah.
"Saya tidak tidur dan tidak makan. Sekarang tenang tapi perasaannya aneh. Saat ini, yang perlu kami lakukan adalah berhenti pertumpahan darah ini dan pahami apa yang harus dilakukan selanjutnya."
Rusia mengatakan pasukan penjaga perdamaiannya telah mengevakuasi 2.000 orang dari desa-desa Karabakh sejak serangan dimulai.
Ketika gencatan senjata diumumkan, para pejabat Karabakh mengimbau warga untuk tetap berada di tempat penampungan dan tidak berangkat ke bandara setempat, yang berdekatan dengan pangkalan penjaga perdamaian Rusia.
Namun, kerumunan warga sipil segera berkumpul di dekat bandara dan ketika kegelapan turun beberapa jam kemudian, tidak jelas dukungan apa yang akan mereka dapatkan.
Pakar Kaukasus Thomas de Waal dari Carnegie Europe mengatakan ketentuan gencatan senjata dan perundingan yang akan datang sangat sesuai dengan ketentuan Azerbaijan dan membuat etnis Armenia tampak tidak terlindungi.
“Ini seperti akhir dari proyek berusia 35 tahun, beberapa orang mungkin mengatakan proyek berusia satu abad, yang dilakukan oleh warga Armenia di Karabakh untuk memisahkan diri dari Azerbaijan,” katanya kepada BBC.
Perdana Menteri Armenia Nikol Pashinyan menegaskan pemerintahnya tidak terlibat dalam perjanjian gencatan senjata dan menuntut pasukan penjaga perdamaian Rusia bertanggung jawab penuh atas keselamatan penduduk setempat.
Pada hari Selasa (19/9/2023) dia menuduh Azerbaijan melakukan “pembersihan etnis” di Karabakh.
Utusan Presiden Azerbaijan, Elchin Amirbekov mengatakan kepada BBC bahwa pasukan penjaga perdamaian Rusia telah membantu memfasilitasi gencatan senjata.
"Saya pikir mereka harus diandalkan dalam implementasi gencatan senjata."