Untuk diketahui, eks Mahid di era Presiden Soekarno merupakan pelajar pada sekitar 1960-an yang dikirim ke luar negeri untuk melanjutkan pendidikan. Ketika mereka sedang berada di luar negeri, terjadi peristiwa G30S yang kemudian diikuti dengan pergantian pemerintahan. Imbas hal tersebut, banyak dari para pelajar itu dicabut paspornya sehingga tidak memiliki kewarganegaraan (stateless), terdampar, dan terpaksa menetap di luar negeri.
Salah seorang korban, Sri Tunruang, yang sehari-hari dipanggil ibu Ning, berterima kasih dan mengapresiasi langkah perintah Presiden untuk pembaruan pelajaran sejarah bagi anak sekolah, dan juga menyampaikan aspirasi untuk mewujudkan dwi kewarganegaraan untuk para eksil.
Sementara itu, Ratna dari Watch 65, perhimpunan yang fokus pada persoalan eksil kasus 1965, mengapresiasi langkah penting hak-hak konstitusional untuk para eksil agar bisa pulang.
Dia juga menyampaikan bahwa perlu ada upaya untuk menghilangkan stigma orang yang dianggap komunis, pengkhianat negara, dan menginginkan perlunya menghapus TAP MPRS No.25/1966, dan memperbaiki meluruskan sejarah 1965.
"Selain pemulihan hak, yang dialami oleh para eksil adalah soal stigma bagaimana orang yang dianggap pengkhianat negara. Stigma ini mengkriminalisasi para eksil dan keturunannya. Kalau tidak diperbaiki stigma itu akan terus ada," ujar Ratna.
Tidak hanya itu, Sungkono, yang pada 1962 dikirim oleh Pemerintah Indonesia untuk belajar Teknik Permesinan Universitas Persahabatan Bangsa-bangsa di Moskow, menyampaikan harapan agar penyelesaian masalah HAM berat ini bisa sesuai dengan janji pemerintah. Dia meminta agar usaha penyelesaian pelanggaran HAM berat ini bisa dilaksanakan secara adil, independen, dan tuntas.
Baca Juga
"Ini saya anggap sebagai suatu kesempatan sejarah dan penting bagi bangsa Indonesia. Saya sambut betul, ini baik sekali. Independen artinya pelaksana program ini di bawah pimpinan Pak Menko Polhukam ini tidak terikat kepada tuntutan pihak-pihak tertentu," kata Sungkono.
Pada pertemuan tersebut, Mahfud untuk pertama kalinya secara simbolis memberikan dokumen visa izin masuk kembali kepada salah seorang eks Mahid, Sri Tunruang.
Pertemuan Mahfud dan Yasonna juga didampingi oleh Duta Besar Indonesia untuk Kerajaan Belanda Mayerfas, jajaran Kemenko Polhukam, Kemenkumham, Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Masa Lalu (PPHAM), serta Perwakilan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).