Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD menyebut bahwa pemerintah tidak akan meminta maaf atas pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang terjadi pada masa lalu.
Hal ini disampaikannya usai mengikuti rapat terbatas (ratas) yang dipimpin oleh Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) mengenai Pelaksanaan Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang Berat, Selasa (2/5/2023), di Kantor Presiden, Jakarta.
Menurutnya, keputusan tersebut dipastikan berdasarkan rekomendasi penyelesaian nonyudisial untuk pelanggaran HAM berat.
"Di dalam rekomendasi penyelesaian nonyudisial itu tidak ada permintaan maaf dari pemerintah kepada masyarakat karena peristiwa itu. Namun, pemerintah menyatakan mengakui bahwa peristiwa itu memang terjadi dan pemerintah menyesali terjadinya peristiwa itu," ujarnya kepada wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (2/4/2023).
Oleh sebab itu, dia menyebut tidak ada permintaan maaf dan tidak ada perubahan status hukum terhadap peristiwa-peristiwa masa lalu. Misalnya, dia mencontohkan seperti TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966 tetap itu berlaku sebagai ketetapan yang tidak dapat diubah.
Selain itu, peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu yang sudah diputuskan oleh pengadilan juga tetap berlaku. Sehingga, Mahfud mengatakan bahwa saat ini pemerintah fokus kepada korban pelanggaran HAM berat masa lalu untuk 12 peristiwa.
Baca Juga
"Dan peristiwa itu tentu tidak bisa ditambah oleh pemerintah karena menurut undang-undang (UU) menentukan pelanggaran HAM berat atau bukan itu adalah Komnas HAM. Dan Komnas HAM merekomendasikan 12 yang terjadi sejak puluhan tahun yang lalu. Nah saya ingin masyarakat paham perbedaan antara pelanggaran HAM berat dan kejahatan berat," ucapnya.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini juga menegaskan bahwa pemerintah tidak mencari pelaku dalam proses penyelesaian non yudisial untuk peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu. Penyebabnya, pemerintah sudah memutuskan adanya penyelesaian non yudisial yang lebih menitikberatkan kepada korban.
"Jadi ini titik beratnya pada korban, bukan pada pelaku. Kami tidak akan mencari pelakunya dalam penyelesaian non yudisial ini. Karena itu urusan Komnas HAM dan DPR," imbuhnya.
Lebih lanjut, Mahfud menjelaskan, apabila menyangkut pelakunya, maka hal itu berkaitan dengan penyelesaian secara yudisial (hukum).
"Nanti harus diputuskan oleh Komnas HAM bersama DPR untuk selanjutnya diserahkan kepada pemerintah," ujarnya.
Mahfud juga menjelaskan bagwa Jokowi sudah mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM) yang Berat yang berisi arahan untuk melakukan langkah terintegrasi guna menyelesaikan rekomendasi terkait pelanggaran HAM berat masa lalu. Menurutnya, titik tekan dari rekomendasi ini adalah perhatian pada korban.
Inpres itu memberi dua tugas kepada 19 kementerian dan lembaga untuk melaksanakan rekomendasi PPHAM. Pertama, memulihkan hak korban atas peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat secara adil dan bijaksana. Kedua, mencegah agar pelanggaran HAM yang berat tidak akan terjadi lagi.
"Ini ditekankan bahwa rekomendasi ini adalah menitikberatkan perhatiannya pada korban, bukan pada pelaku pelanggaran HAM berat pada masa lalu. Karena kalau menyangkut pelaku, itu menyangkut penyelesaian yudisial yang nanti harus diputuskan oleh Komnas HAM bersama DPR untuk selanjutnya diserahkan kepada pemerintah," ujarnya.
Dia menjabarkan bahwa Presiden Ke-7 RI itu dijadwalkan meluncurkan program penyelesaian HAM berat non-yudisial pada Juni 2023 di Aceh.
"Pada bulan Juni yang akan datang, Presiden RI akan melakukan kick off peluncuran upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat secara non-yudisial ini akan dilakukan di Aceh, tanggalnya masih akan ditentukan. Tempatnya ada pada tiga titik, yaitu di Simpang Tiga (Aceh Besar), Rumah Geudong, dan Pos Sattis serta Jambu Keupok. Data sudah ada sumbernya nanti akan di-cross check lagi," katanya.
Peluncuran program tersebut nantinya akan berbentuk taman belajar atau living park tentang hak asasi.
"Dalam kick off nanti kita juga akan mengumumkan kepada warga negara yang menjadi korban pelanggaran HAM berat pada masa lalu dan masih ada di luar negeri atau yang kita kenal sebagai istilah eksil," pungkas Mahfud.