Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD menyebut bahwa eksil yang berada di luar negeri karena peristiwa G30 S/PKI tidak boleh pulang bukan pengkhianat negara.
Menurutnya, langkah pemerintah menyatakan para eksil sebagai warga negara Indonesia yang tidak pernah mengkhianati negara merupakan salah satu bentuk upaya penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu secara nonyudisial.
"Meskipun mereka memang tidak mau pulang, tetapi mereka ini akan kita nyatakan sebagai warga negara yang tidak pernah mengkhianati negara," katanya kepada wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (2/5/2023).
Dia menjabarkan, beberapa eksil terjebak di luar negeri karena dituduh terlibat dalam Gerakan 30 September 1965 yang disebut-sebut didalangi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Padahal, mereka merupakan pelajar yang dikirim saat pemerintahan Presiden Soekarno untuk menimba ilmu di luar negeri, tetapi tidak diizinkan kembali untuk ke Indonesia setelah G30S/PKI.
“Karena waktu itu mereka disekolahkan oleh Presiden Soekarno ke berbagai negara di Eropa Timur, di Eropa dan China. Begitu mereka selesai [sekolah] ternyata terjadi peristiwa G30S/PKI sehingga tidak diizinkan pulang pada waktu itu, nah mereka ini masih ada beberapa di luar negeri, nanti akan kita undang. Mereka ini bukan anggota PKI," tuturnya.
Lebih lanjut, dia pun menyebut salah satu contoh mahasiswa yang tidak bisa pulang karena peristiwa G30 S/PKI adalah Presiden ke-3 B.J. Habibie.
Baca Juga
"Beliau pada 1960 bersekolah di Jerman, kemudian 1963 lulus master lalu melanjutkan doktor. Lulus dokter persis pada akhir 1965 terjadi peristiwa G30S/PKI, beliau termasuk orang yang semula tidak boleh pulang, tetapi pada 1974 ketemu dengan Presiden Soeharto ketika beliau berkunjung ke Jerman dan kebetulan mereka kenal, katanya 'Habibie kok kamu ada di sini?' [dijawab] 'Saya nggak boleh pulang Pak'. 'Loh kenapa?' [dijawab] 'Ada kebijakan karena peristiwa 1965, kami tidak boleh pulang'. Lalu oleh Pak Harto diajak pulang dan jadilah dia orang besar yang kemudian jadi presiden," jelasnya.
Menurutnya, nasib tersebut hingga saat ini masih dirasakan oleh 39 orang eksil di luar negeri yang tinggal di Rusia, Praha, Kroasia, Belanda maupun negara lain.
"Nanti ini akan kami cek satu per satu, meskipun mereka memang tidak mau pulang, tetapi mereka ini akan kita nyatakan sebagai warga negara yang tidak pernah mengkhianati negara karena pengkhianatan terhadap negara itu sudah selesai di pengadilan, sudah selesai di Era Reformasi, screening dan sebagainya dihapus dan kemudian semua warga negara diberi hak yang sama di depan hukum dan pemerintahan," tuturnya.
Sekadar informasi, Jokowi sebelumnya telah menyesalkan terjadinya pelanggaran HAM yang berat dalam 12 peristiwa, yaitu peristiwa 1965-1966, peristiwa penembakan misterius 1982-1985, peristiwa Talangsari, Lampung 1989, peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989, peristiwa penghilangan orang secara paksa 1997-1998, dan peristiwa kerusuhan Mei 1998.
Selanjutnya, peristiwa Trisakti dan Semanggi I - II 1998-1999, peristiwa pembunuhan dukun santet 1998-1999, peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999, peristiwa Wasior, Papua 2001-2002, peristiwa Wamena, Papua 2003, dan peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003.
Sebelumnya, melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2023 Presiden Ke-7 RI itu memerintahkan kepada 19 menteri dan pejabat setingkat menteri untuk mengambil langkah-langkah secara terkoordinasi dan terintegrasi guna melaksanakan rekomendasi penyelesaian nonyudisial pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Mahfud mengatakan, penyelesaian nonyudisial ini menitikberatkan kepada korban dan bukan pelaku.
“Ini ditekankan bahwa rekomendasi ini adalah menitikberatkan perhatian pada korban, bukan pada pelaku pelanggaran HAM berat pada masa lalu. Karena kalau menyangkut pelaku, itu menyangkut penyelesaian yudisial yang nanti harus diputuskan oleh Komnas HAM bersama DPR, untuk selanjutnya diserahkan kepada pemerintah,” pungkas Mahfud.