Bisnis.com, JAKARTA – Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko angkat bicara mengenai lima menteri di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang masuk dalam pusaran dugaan korupsi.
Menurutnya, dengan banyaknya Menteri Jokowi yang dipanggil baik oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung (Kejagung) membuktikan pemerintah pusat tak pernah mengintervensi proses hukum sehingga siapa yang bersalah akan diadili dengan sesuai.
“Itu bukti bahwa Presiden tidak pernah intervensi kepada siapa pun atas sebuah proses hukum yang dihadapi para menteri. Jadi, Presiden tidak intervensi diserahkan sepenuhnya kepada proses hukum itu berjalan,” tuturnya di Kantor KSP, Senin (3/7/2023).
Lebih lanjut, dia menilai bahwa pemanggilan dua Menteri oleh Kejagung tidak akan mengganggu kinerja dari program pemerintah yang ada, sebab posisi pembantu presiden tersebut berfokus sebagai penentu kebijakan.
“Tugas menteri adalah penentu kebijakan, tugas teknisnya ada di bawahnya, Sekjen, Dirjen untuk persoalan teknis berjalan. Sehingga tidak mengganggu dalam penyelesaian tugas yang sudah digarisbawahi Menteri. Jadi, beda bagaimana penentu kebijakan dan teknis yang dijalankan para Dirjen, jadi [program pemerintah] tetap bisa berjalan dengan baik,” pungkas Moeldoko.
Terbaru, Jokowi angkat bicara mengenai pemanggilan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Dito Ariotedjo dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi Base Transceiver Station (BTS) 4G BAKTI Kemkominfo sebagai saksi.
Baca Juga
“Ya, hormati semua proses hukum, kalau yang dipanggil, baik dari KPK, baik dari kejaksaan ya hormati proses hukum itu. Datang dan berikan penjelasan, berikan klarifikasi,” katanya kepada wartawan di Pangkalan Udara Halim Perdana Kusuma, Senin (3/7/2023).
Sekadar informasi, tak ada gading yang tak retak meskipun Presiden Ke-7 RI itu seringkali menyatakan dirinya tidak main-main dengan pemberantasan tindak korupsi dan tidak terkecuali terhadap jajaran menteri KIM, tetapi selama dua periode menjabat telah tercatat sudah lima menterinya dijadikan dipanggil oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan dua menteri oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam pusaran kasus dugaan korupsi.
Daftar parpol yang menterinya tersangkut korupsi:
Golkar
Kasus pertama, adalah Mantan Menteri Sosial (Mensos) Idrus Marham yang belum lama ini bebas dari penjara pada Jumat (11/9/2020). Mantan Sekretaris Jenderal Partai Golkar itu telah menjalani hukuman sebanyak 2 tahun penjara dalam kasus suap proyek pembangkit listrik PLTU Riau-1.
Terseretnya, Idrus dalam kasus PLTU Riau-1 diawali melalui operasi tangkap tangan (OTT) terhadap koleganya di Partai Golkar sekaligus Wakil Ketua Komisi Energi DPR Eni Saragih.
Eni yang didakwa menerima suap dari pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo untuk mendapatkan proyek PLTU Riau-1, dimana pada akhirnya KPK mengendus peran Idrus dalam perkara rasuah tersebut.
Walhasil, KPK mengumumkan penetapan tersangka terhadap Idrus pada 24 Agustus 2018 dengan Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta yang memvonis Idrus tiga tahun penjara pada 23 April 2019. Idrus dianggap bersalah menerima suap Rp 2,25 miliar dari Kotjo.
Mantan Sekretaris Jenderal Partai Golkar itu dijerat dengan Pasal 12 Huruf a atau b atau Pasal 11 Undang Undang Pemberantasan Korupsi Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Masih dari partai berlogo pohon beringin itu, kasus terbaru tengah menimpa Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Dito Ariotedjo yang namanya masuk dalam penggalan berita acara pemeriksaan (BAP) yang beredar oleh tersangka Irwan Hermawan.
Dito Ariotedjo diduga menerima Rp27 miliar dari dana proyek BTS BAKTI Kemkominfo, tetapi tidak disebut untuk keperluan apa penerimaan tersebut, dimana dugaan terkait dengan penerimaan uang disebutkan terjadi pada rentang November hingga Desember 2022.
PKB
Selanjutnya, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi dijatuhi vonis 7 tahun penjara dan pidana denda sebesar Rp 400 juta (subsider 3 bulan kurungan) dalam kasus suap dan gratifikasi yang menjeratnya.
Mantan Sekretariat Jenderal DPP PKB ini dinyatakan terbukti korupsi terkait pemberian dana hibah Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) kepada Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) serta gratifikasi sebesar Rp8,3 miliar.
Kasus Imam pun berawal dari operasi tangkap tangan (OTT) terhadap sejumlah pejabat Kemenpora dan KONI pada Desember 2018. Imam diduga menerima uang sebesar Rp26,5 miliar sebagai bentuk commitment fee pengurusan proposal yang diajukan KONI kepada Kemenpora.
Uang itu diterima secara bertahap yakni sebesar Rp14,7 miliar dalam rentang waktu 2014-2018 melalui asisten pribadinya, Miftahul Ulum yang juga menjadi tersangka dalam perkara ini. Imam juga diduga menerima uang Rp11,8 miliar dalam rentang waktu 2016-2018.
Alhasil, dirinya dijerat oleh Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 12b atau Pasal 11 Undang Undang Pemberantasan Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Gerindra
Nama Edhy Prabowo yang merupakan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan ditetapkan sebagai tersangka kasus suap izin ekspor benih lobster. Adapun, dalam kasus tersebut politisi Partai Gerindra itu bersama enam orang lainnya ditetapkan tersangka.
Selain Edhy, 6 tersangka penerima suap lainnya yaitu staf khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Safri, pengurus PT Aero Citra Kargo Siswadi, staf istri Menteri Kelautan dan Perikanan Ainul Faqih, staf khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Andreau Pribadi Misata, dan seorang bernama Amiril Mukminin serta Direktur PT Dua Putra Perkasa Suharjito disangkakan sebagai pemberi suap.
Edhy pun dinilai terbukti melanggar Pasal 12 huruf a Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2001 dan dianggap telah menerima suap terkait pengurusan izin budi daya lobster dan ekspor benih benur lobster (BBL) sebesar Rp 25,7 miliar dari para eksportir benih benur lobster.
Setelah vonis ditetapkan, Edhy mengajukan banding di Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta. November 2021, majelis hakim pengadilan tinggi memperberat hukuman Edhy menjadi pidana penjara 9 tahun dan dirinya diwajibkan membayar denda Rp 400 juta yang dapat diganti pidana kurungan selama 6 bulan. Majelis hakim tingkat banding juga menetapkan pidana pengganti senilai Rp 9,68 miliar.
NasDem
Menkominfo dari Partai NasDem ini Base Transceiver Station atau BTS. Awal mula kasus ini mengemuka adalah saat masyarakat mengeluh terkait jarigan yang kurang stabil atau kadang tidak dapat tersambung saat sistem pembelajaran daring yang dilakukan pemerintah semasa pandemi Covid-19.
Dari adanya keluhan masyarakat tersebut, pihak Kejagung menemukan adanya tindak pidana dalam kasus BTS Kominfo ini. Setelah dilakukan penyidikan menetapkan tiga orang tersangka, yaitu Anang Achmad Latief selaku Direktur Utama Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) Kominfo, Galumbang Menak S selaku Direktur Utama PT Mora Telematika Indonesia, dan Yohan Suryanto selaku Tenaga Ahli Human Development (HuDev) Universitas Indonesia Tahun 2020.
AAL dengan sengaja mengeluarkan peraturan yang telah diatur sedemikian rupa untuk menutup peluang para calon peserta lain sehingga tidak terwujud persaingan usaha yang sehat serta kompetitif dalam mendapatkan harga penawaran.
“Hal itu dilakukan dalam rangka untuk mengamankan harga pengadaan yang sudah di mark-up sedemikian rupa,” ucap Ketut Lalu, untuk GMS bersama-sama memberikan masukan dan saran kepada AAL ke dalam Peraturan Direktur Utama, yang dimaksudkan untuk menguntungkan vendor dan konsorsium serta perusahaan yang bersangkutan dalam hal ini adalah supplier.
Sementara itu, sambungnya, YS secara melawan hukum telah memanfaatkan Lembaga HUDEV UI untuk membuat kajian teknis yang diketahui mengakomodir kepetingan dari AAL.
Selain tiga orang diatas, setelah dilakukan pendalaman Kejagung menetapkan dua oramg tersangka lagi yaitu IH selaku Komisaris PT Solitech Media Sinergy dan Mukti Ali (MA) selaku Direktur Keuangan PT Huawei Tech Investment.
Saat ini, Johnny masih menjalani serangkaian sidang terkait kasus tersebut.